
Di jaman kemajuan internet seperti sekarang ini, banyak sekali orang-orang yang memanfaatkan media sosial sebagai wadah untuk mencurahkan isi hati (curhat). Berbagai opini, kritik, saran, keluh kesah, dan unek-unek seenaknya saja diumbar di sana.
Mereka tidak pernah (atau jarang) berpikir kalau apa yang mereka bagi di media sosial, bisa mendatangkan hal-hal yang tidak akan pernah diduga sebelumnya. Boro-boro memikirkan akibatnya, yang ada malah mereka merasa bangga bisa menulis panjang dan mendapat likes/retweets dari orang lain.
Facebook, Twitter dan Path adalah tiga sarana yang sering digunakan untuk curhat. Kalau curhat di Path sih masih mending, karena hanya dibagi ke lingkaran pertemanan yang sempit. Kalau di Facebook mungkin punya lingkaran pertemanan yang lebih luas. Namun jika di Twitter, itu sudah jadi konsumsi publik.
Yang jadi permasalahan adalah ketika apa yang kita bagikan sudah menjadi konsumsi publik. Orang-orang yang bahkan tidak kita kenal bisa mengomentari hal yang telah kita bagikan tersebut. Tanggapannya pun beragam, mulai dari positif, netral, hingga negatif. Kalau sudah begitu, pasti deh muncul yang namanya “drama”.
Baca juga: Ini Alasan Mengapa Saya Menyukai Tidur Siang
Apa Sih Drama?
Namun, drama yang akan saya bahas di tulisan ini bukanlah drama yang dipentaskan di teater. Seperti yang sudah dibahas di awal, saya akan fokus pada drama yang terjadi di media sosial. Huahaha, ini akan jadi hal yang seru!
Menurut saya, drama adalah sesuatu yang dibesar-besarkan dan ditanggapi oleh banyak orang. Kadang sesuatu itu sebenarnya cuma hal yang sepele. Bagai api disiram minyak, hal sepele itu jadi sesuatu yang besar, viral, dan mengundang orang-orang untuk ikut menanggapinya.
Contohnya, saya curhat kalau saya benci makan bubur ayam. Lalu ada beberapa orang yang menanggapi: “tapi kan bubur ayam enak!”, “saya juga tidak suka bubur ayam”, “kamu gak kasihan sama penjual bubur ayam?”, “bubur ayam kan makanan bergizi!”, “wah, tidak menghargai makanan Indonesia nih!”, dan seterusnya.
Akhirnya, curhatan tersebut pun makin banyak mendapatkan tanggapan. Mulai dari teman dan keluarga saya, hingga orang yang sama sekali tidak saya kenal. Kemudian curhatan itu dibagi-ulang (reshare) oleh mereka ke publik, hingga akhirnya viral dan mengundang debat tak berujung.
Oh Tuhan Yang Maha Esa…
Kenapa Benci Dengan Drama?
Bukan hanya saya saja, bahkan orang-orang di sekitar saya pun bakal jadi terancam ikut terlibat dalam drama ini. Bisa kamu lihat dari kebanyakan kasus-kasus (yang berawal dari drama) yang beredar di media sosial. Kasihan kan kalau keluarga atau kerabat yang tidak tahu apa-apa jadi ikut terseret.
Belum lagi kalau drama itu sampai dikaitkan ke masalah-masalah sensitif seperti menyinggung SARA. Wah, bisa-bisa saya diwawancarai/diliput media, hingga berakhir mendekam di jeruji besi (amit-amiiit!!!). Saya sama sekali tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya kayak gitu.
Tidak cukup sampai di situ, setelah drama yang kamu buat berakhir, mungkin ada sisa-sisa yang masih membekas. Bisa jadi, ketika saya lewat di tengah keramaian, orang-orang akan berbisik di belakang saya, “eh, itu kan yang katanya gak suka bubur ayam”, “iya, dasar orang yang aneh, bubur ayam kan enak”. Ugh, sakit banget rasanya!
Gara-gara hal ini, saya menjadi lebih ekstra hati-hati dalam membagikan opini saya di media sosial. Bahkan, saya sangat jaraaang sekali update status di Facebook atau ngetwit di Twitter. Saya lebih baik nulis panjang kayak gini di blog sendiri dari pada di sana, soalnya kemungkinan menjadi viralnya lebih sedikit.
Baca juga: Suka Duka Kehidupan Mahasiswa DKV
Katanya Benci, Tapi Kok Suka?
Hah? Kok gitu? Yap, karena saya tidak pernah membuat drama, apalagi terlibat di drama orang lain, maka saya merasa tenang-tenang saja. Nah, pas ada orang lain yang membuat atau membagikan drama, wuiiih, saya langsung stand-by di depan laptop/ponsel deh!
Pernah pas ada drama heboh di lingkaran pertemanan saya di Facebook atau Twitter, saya bisa seharian (bahkan lebih) nongkrong di media sosial! Pokoknya saya tidak ingin sampai melewatkan satu komentar/tweet pun dari drama yang sedang terjadi. Ya, kurang lebih mirip ibu-ibu kecanduan sinetron atau bapak-bapak kecanduan nonton sepak bola lah~
Mungkin kamu bertanya, kok sampai segitunya sih? Err, sebenarnya saya juga tidak tahu alasannya. Rasanya bagaimana ya, hmm, seperti ada perasaan senang, penasaran, dan antusias gitu. Tapi, entahlah, mungkin kamu bisa menanyakannya kepada pakar psikologi soal hal ini.
Memang sih, ada rasa bersalah juga pas menyimak sebuah drama. Kadang sedih juga kalau membayangkan diri saya ada di posisi orang yang membuat drama tersebut. Apalagi kalau drama itu berujung ke hal-hal yang tidak baik. Malah jadi merasa berdosa kan…
Ta-tapi, ya mau gimana lagi! Bukankah drama ada untuk dinikmati? Salah sendiri kenapa bikin drama! Kenapa tidak berpikir dahulu sebelum berkata atau berbuat? Padahal kalau saja ia bisa menahan diri untuk tidak sembarangan update status/ngetwit, drama itu tidak akan terjadi.
Baca juga: 8 Profesi Untuk Lulusan DKV
Ya, kurang lebih begitulah pendapat saya tentang drama yang sering terjadi di media sosial. Intinya, saya benci kalau drama itu terjadi pada diri saya, tapi saya juga suka menyimak drama orang lain. Ahahaha~ Apakah kamu juga seperti saya? Atau punya pendapat yang berbeda? Silakan tulis di kolom komentar ya~
Terima kasih sudah membaca, semoga harimu menyenangkan~
People who create their own drama, deserve their own karma.
– Anonymous
Salam,
Agung Rangga
Comments (42)
shiq4says:
6 Desember 2017 at 13:00Klo saya di medsos nggak suka mas agung. Terkadang bahasa sangat kasar dan saya merasa benci dengan cara menyampaikan opini yang demikian. Klo memang ingin berdebat dan mencari kebenaran, karena kepala sama hitam, pendapat berlain-lain, saya lebih menghargai mereka yang berani menulis opini secara lengkap di blog agar tidak terjadi kesalahpahaman. Terutama klo dah nyrempet2 SARA. ๐
Agung Ranggasays:
6 Desember 2017 at 14:36Betul sekali mas, pengguna medsos sekarang seram-seram ya. ๐
amijasminesays:
6 Desember 2017 at 13:05Yah begitulah orang Indonesia sukanya kepo di sosmed. Kalo ada drama di sosmed kalo bisa terus dipanas panasin biar tambah seru.
Agung Ranggasays:
6 Desember 2017 at 14:37Hahaha, saya mah gak ikut-ikutan manas-manasin. Cukup nonton aja~ ๐
Ikromsays:
6 Desember 2017 at 13:12keren dong kak gara2 bubur ayam bisa viral
ya itulah Indonesia raya wkwkw
Agung Ranggasays:
6 Desember 2017 at 14:38Apa sih yang gak bisa diviralin di Indonesia~ ๐
Danysays:
6 Desember 2017 at 15:51Hm, soal bubur jadi teringat perdebatan di twitter apakah enaknya diaduk atau tidak.
Agung Ranggasays:
6 Desember 2017 at 19:08Mau diaduk atau tidak, saya tetap gak suka bubur ayam. ๐
Danysays:
6 Desember 2017 at 19:48Wah, sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. ๐
Agung Ranggasays:
6 Desember 2017 at 19:49Hahaha~ ๐
Garasays:
6 Desember 2017 at 18:54Saya pikir saya termasuk tipe yang justru kurang kekinian kalau soal drama sosial. Biasanya malah baru tahu beberapa hari kemudian ketika orang-orang sekitar sudah sibuk membicarakannya. Hehe. Tapi soal bercuit di media sosial, Twitter terutama, saya pikir sepanjang apa yang akan saya cuitkan tidak melanggar hukum (dalam arti luas), maka saya bebas bercuit apa saja. Kebebasan menggunakan media sosial kan merupakan hak asasi di bidang komunikasi, hehe.
Hanya saja, yang patut diperhatikan adalah sekali menekan tombol “share” dalam setiap media sosial, maka itu berarti si pembagi harus siap dengan semua akibatnya, suka atau tidak. Ketika menekan tombol itu, menurut saya ia sudah tahu bahwa apa yang ia bagikan sudah jadi konsumsi publik. Sah-sah saja berpendapat soal bubur ayam. Sah-sah saja menanggapi pendapat soal bubur ayam. Bahkan sangat sah kalau itu jadi viral (banyak orang mendamba popularitas dari media sosial). Yang tidak sah adalah jika saling berbalas cuitan itu jadi ajang menjatuhkan salah satu pihak dengan ujaran kebencian. Itu baru harus diproses! Wkwk.
Maaf ya jadi panjang, hehe.
Agung Ranggasays:
6 Desember 2017 at 19:07Betul sekali bli, yang penting siap dengan konsekuensinya ya. ๐
Sesuai dengan karma phala, apa yang ditabur, itulah yang dituai. ๐
Garasays:
6 Desember 2017 at 19:45Setuju… hehe.
N. Kharisma Rosalina (@OnlyKharisma)says:
7 Desember 2017 at 09:41Anu…saya kalo mengendus bakal-bakal drama tuh yang dimakan bukan berondong jagung, tapi batu bata. Biar greget. Hihi.
Kita sama mas, big no buat bikin diri sendiri jadi lakon drama, tapi seneng jadi penyimak drama kacangan orang-orang yang pengen tenar. Jadiin reminder aja, kalo mengumbar masalah pribadi atau menyulut benih-benih drama lalu akhirnya viral dan diomongin seluruh Indonesia itu sangat memalukan. Huhu
Agung Ranggasays:
7 Desember 2017 at 09:44Waduh, batu bata rasanya seperti apa ya? ๐
Hahaha, betul banget, kadang orang-orang yang kebelet tenar suka bikin drama yang aneh-aneh ya~
Deddy Huangsays:
7 Desember 2017 at 20:52dinikmati aja.. kalau bosen tinggal unfollow ๐
Agung Ranggasays:
7 Desember 2017 at 20:52Betul sekali koh~ ๐
baiqrosmalasays:
8 Desember 2017 at 13:40saya keseringan nyimak drama orang lain. Kalau bikin drama diri sendiri bingung gimana mulainya ๐
Agung Ranggasays:
8 Desember 2017 at 14:08Lebih baik jangan memulai drama mbak. ๐
Idah Cerissays:
8 Desember 2017 at 15:08Ternyata cowok ada yang doyan mantengin TL ya, Gung. Kirain cewek ajaa. Hahaha
Triyoga APsays:
9 Desember 2017 at 05:08Eh ada mbak idah ceris. Udah lama gak ngobrol di blog nih sama mba idah ceris. ๐
ysalmasays:
8 Desember 2017 at 19:46saya selalu ketinggalan untuk urusan drama2 ini, Gung.
Belakangan tahu, bingung sendiri nyambunginnya, mending denger kesimpulannya secara umum aja, itupun kalau ada yg membagi *kudet* ๐
Dulu, sy ga suka jg bubur aya, lama2 bisa jg nelannya kalau lg kepepet ๐
Agung Ranggasays:
12 Desember 2017 at 13:10Hihihi, gak apa-apa kok bun, toh drama-drama beginian juga tidak terlalu penting. ๐