
Semua bergerak menuju tempat acara puncak, berjalan menerjang hujan yang makin lama malah makin deras. Suara hujan yang kencang itu terdengar sayup-sayup di telingaku, ditelan oleh gemuruh teriakan orang-orang yang mengiring kepergian kakek dengan penuh suka cita, juga alunan musik Baleganjur yang bertabuh penuh semangat.
Lanjutan dari: Pulang ke Bali: Mengiring Kakek
Putaran yang Singkat
Akhirnya kami sampai di tempat ngaben, tepatnya di lapangan yang terletak dalam area setra (kuburan). Di tengah-tengah lapangan, terdapat gundukan tanah yang dibentuk lingkaran, dan ada bale-bale kecil di tengahnya. Aku tidak ingat jelas sih ada apa di bale-bale itu. Yang pasti, kami semua disuruh mengelilingi pinggir gundukan lingkaran itu sebanyak 3 kali. Karena licin, hampir saja kakiku terpeleset.
Selesai berkeliling, kukira bakal langsung diam menetap di sana, sambil menunggu wadah dan penduduk lainnya sampai. Ternyata, kami langsung dibawa pulang kembali ke Kubu! Ya, sajen yang kami bawa harus ditaruh lagi ke bale-bale yang ada di rumah kakek. Di perjalanan, aku gak ingat sudah berpapasan dengan wadahnya atau belum. Karena, aku sangat capek, kedinginan, dan kakiku pegal-pegal (huhuhu~).
Sampai di Kubu, sajenku langsung aku serahkan ke Niang Lemon. Kemudian aku sadar kalau banyak sekali duri-duri halus dari batang bambu yang tadi kupegang, menempel sepanjang tanganku! Wuaaah, gatal banget! Aku langsung disuruh bapak untuk mandi. Dan pas mau ambil baju di kamar, ternyata kamarnya dikunci! Syukurlah handukku masih berada di luar, jadi bisa langsung mandi. Oh iya, kamar mandi di rumah kakek berada di luar, terpisah dari rumah.

Selesai mandi, hujan ternyata masih belum reda, walaupun sudah tidak lebat lagi. Dan ternyata mama sudah pulang, dan beliau segera membukakan kunci kamarku. Langsung saja aku pakai baju, dan makan siang. Tak lama kemudian, si Dewi (adikku) pulang bawa ponselku yang kutitipkan ke dia. Huhuhu, ponselku ternyata basah kehujanan, tapi untung cuma basah di bagian flip covernya aja.
Pembakaran Wadah

Sekitar 1 jam kemudian, ada bapak-bapak yang memanggil aku dan Dewi, katanya disuruh sama yang lain untuk kembali ke setra! Langsung saja kami dibonceng oleh beliau menuju ke sana. Hujan sudah berhenti, diganti oleh matahari sore yang hangat. Sampai di setra, ternyata masih banyak banget penduduk dan keluarga yang berada di sana. Dan terlihat wadah kakek yang besar sedang terbakar, menandakan bahwa acara puncak dari ngaben sedang berlangsung.
Api sangat cepat menghanguskan wadah besar tersebut. Setelah api padam sendiri, para keluarga yang ikut ngaben, segera mengambil abu jenazah dari sisa-sisa pembakaran tadi. Sebenarnya bukan berbentuk abu sih, melainkan (yang kulihat) masih berupa serpihan tulang-tulang kecil, yang dibersihkan kembali. Lalu, sisa pembakaran itu dimasukkan ke wadah yang kecil.



Setelah wadah siap, Pendeta memimpin kami semua untuk sembahyang muspa. Semua hening, hanya terdengar suara Pendeta yang membacakan mantra dan dentingan bajra yang mengalun lembut. Selesai sembahyang, kami diperciki tirta. Lalu semuanya pun bangkit dan siap untuk mengikuti prosesi selanjutnya, “nganyud”.
Menuju Ke Sungai
Menurut Wikipedia, “nganyud” bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai. Karena desa kami terletak di kaki Gunung Agung, maka sungai di bawah desa ialah tempat yang paling pas untuk melaksanakan upacara ini.

Kami semua pun harus kembali berjalan menuruni bukit, menuju ke arah sungai yang terletak di perbatasan desa. Jaraknya sih lumayan dekat, makanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja. Para bapak-bapak dan remaja lelaki bertugas membawa wadah kecil itu, dengan bantuan Aji Made (kakak sulung bapaku) yang naik ke atas wadah untuk menjaga keseimbangan wadahnya.
Wadah itu digotong dengan penuh semangat, sampai-sampai jalannya ke sana-ke mari. Duh, harusnya hati-hati sih, mengingat kami berjalan di jalan raya, dan salah satu sisi jalan adalah jurang! Musik baleganjur juga kembali mengiringi perjalanan kami, untuk mengimbangi teriakan remaja-remaja yang seru membawa wadahnya.
Selesai Ngaben
Sampai di jembatan, wadah pun diturunkan. Aji Made yang berada di atas wadah, segera memberikan sajen-sajen dan abu jenazah ke para keluarga untuk segera dihanyutkan di sungai. Sungainya sendiri ternyata berada di bawah jembatan, dan untuk ke sana harus turun melewati semak belukar dan pohon yang lebat. Maka dari itu, cuma beberapa orang saja yang berani ke sana.


Setelah sajen dan abu jenazah dihanyutkan, sekarang giliran wadahnya. Karena repot bila membawanya turun ke sungai, maka bapak-bapak pun berusaha mendorong wadah tersebut agar jatuh ke bawah jembatan. Dan akhirnya, acara puncak dari upacara ngaben pun selesai. Kami semua berangkat kembali ke kubu, sementara penduduk yang ikut membantu pulang ke rumah masing-masing.

Sampai di kubu, kami disuguhkan aneka kue basah dan teh hangat untuk melepas lelah seharian ini. Ya, aku sama sekali gak merasa bahwa hari ini berlalu begitu cepat. Masih terbayang betapa serunya basah-basahan di bawah hujan tadi. Tapi sekarang, saatnya mengistirahatkan badan dengan bercengkerama bersama keluarga besar. Satu hal yang belum sempat kami lakukan karena sibuk dengan persiapan ngaben.
Bersambung ke: Pulang Ke Bali: Sampai Jumpa Lagi
Salam,
Agung Rangga
#trivia : selama mengikuti upacara ngaben, aku tidak lepas dari ponsel. Ya, dengan ponsel, aku memotret dan merekam semuanya, agar nanti bisa dikenang kembali. Aku juga dapat mengingat lagi dan menuliskannya kembali di blog ini gara-gara melihat foto dan video yang aku simpan (selain dari jurnal harianku). Apa kamu juga suka merekam kejadian di sekitar? Dengan alat apa kamu merekamnya?
Comments (8)
Rhamdani Bennysays:
29 Juli 2015 at 16:52nice story
Agung Ranggasays:
29 Juli 2015 at 19:17terima kasih pak.
Liasays:
30 Juli 2015 at 08:43butuh biaya banyak ya untuk upacara ngaben ini? di tempatku belum ada hujan nih
Agung Ranggasays:
31 Juli 2015 at 09:20iya bun, sangat besar biayanya.
huhu, sama nih, di rumah saya juga masih belum hujan. 🙁
Garasays:
30 Juli 2015 at 11:27Wew, petulangannya dijatuhin ke dalam sungai? Saya pikir turut dibakar juga, sebab kalau di tempat saya, biasanya setelah selesai nganyut, dibawa lagi ke setra untuk dibakar :hehe.
Eh saya tumben melihat ngaben yang abunya dianyut di sungai ini Bli :hehe. Unik sekali :)).
Agung Ranggasays:
31 Juli 2015 at 09:24“petulangan” itu maksudnya wadah tempat naruh abunya ya bli? 😐
hmm, mungkin memang beda-beda ya cara melaksanakan ngabennya.
dihanyutkan ke sungai karena desa kami jauh dari laut. kan sungai muaranya ke laut juga~
Garasays:
3 Agustus 2015 at 10:42Iya, yang itu :hehe. Bahkan di Bali sendiri ada beberapa keunikan ya, kayaknya safari acara ngaben ke beberapa desa bisa jadi agenda yang bagus nih kalau kebetulan ke Bali :haha.
Iya, memang demikian :)).
Agung Ranggasays:
3 Agustus 2015 at 15:49nah, betul juga ya~ 😆