Upacara Ngeroras (Bagian 2)

Upacara Ngeroras (Bagian 2)

Upacara Ngeroras adalah sebuah upacara untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal, dan biasa dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali setelah melaksanakan upacara ngaben. Setelah melakukan perjalanan lewat udara dari Bekasi, akhirnya kami sekeluarga sampai di Bali, di kampung kedua orang tua saya. Tidak sabar rasanya untuk melihat seperti apa kemeriahan dari upacara ngeroras.

Lanjutan dari Upacara Ngeroras (Bagian 1)


Sejarah 3 Keluarga Besar

Sebelum ke cerita utama, saya mau menceritakan sedikit tentang sejarah keluarga saya di Desa Padangaji. Saya pernah diceritakan oleh Mama, kalau upacara ngeroras ini merupakan upacara ngeroras pertama yang beliau ikuti, sejak beliau lahir hingga sekarang. Memang sih di kampung kedua orang tua saya, Desa Padangaji, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali ini sudah sering ada yang melakukan upacara ngeroras. Tapi semuanya bukan berasal dari keluarga Bapak atau Mama.

Baca juga: Pulang ke Bali: Mengiring Kakek

Seingat saya, Mama bilang kalau di desa kami awalnya (pada jaman dahulu kala) terdapat 1 keluarga besar yang memiliki 3 keturunan. Ketiga keturunan itu saling berebut wilayah desa, sehingga pada akhirnya desa ini pun dibagi menjadi 3 bagian. Masing-masing keturunan menempati tiap bagian desa tersebut, kemudian berkeluarga dan jadilah Desa Padangaji yang sekarang. Memang sih, menurut saya desa yang terletak di kaki Gunung Agung ini sangat luas wilayahnya. Masih banyak banget sawah dan hutan yang terdapat di sini.

Kebetulan, Mama dan Bapak sebenarnya masih masuk ke dalam 1 keluarga besar (dari 3 keluarga yang saya sebutkan sebelumnya), tapi sudah berpisah hingga beberapa keturunan (istilahnya mungkin “saudara jauh” kali ya?). Dan keluarga besar ini baru sekali mengadakan upacara ngeroras dibanding 2 keluarga besar lainnya, itupun kata Mama pas beliau masih bayi. Dan hingga pada akhirnya, setelah sekian lama diadakanlah upacara ngeroras dari keluarga besar kami ini, yang sekarang akan saya ceritakan.


Ke Tempat Upacara Ngeroras

akhirnya ngumpul bertiga lagi
akhirnya ngumpul bertiga lagi

Waktu menunjukkan pukul 05:00 WITA (20/09/15), pagi yang sangat dingin di kubu. Si Arya masih tidur, jadi saya tinggal saja keluar. Setelah cuci muka, saya mampir ke rumah Aji Putu untuk berkumpul dengan saudara yang lainnya, dan sekedar menonton televisi. Tapi karena bosan, saya balik lagi ke rumah Aji Mangku, dan dibelikan sarapan oleh Mama sekresek pisang goreng.

Seusai sarapan, mandi dan berpakaian rapi, kami semua bersiap-siap untuk mengunjungi tempat dilangsungkannya upacara ngeroras yang berada di sebelah timur desa. Nama daerah itu adalah Piadnyan. Kami sekeluarga (kecuali Bapak yang sudah lebih dulu berangkat) berjalan kaki menuju tempat tersebut. Jaraknya lumayan banget, mungkin ada sekitar 7-10 KM dari kubu. Dan jalanannya pun ekstrim, ada yang menurun dengan tingkat kemiringan yang curam, ada yang menanjak, meliuk-liuk, dan masih berupa bebatuan.

Sampai di sana, saya melihat banyak sekali yang sudah datang. Dan asal kamu tahu, tempat upacara ngerorasnya tuh luaaas banget! Mama bilang kalau tempat upacara ini dibangun layaknya seperti Pura, yang memiliki 3 bagian wilayah di dalamnya (bagian nista mandala, madya mandala dan utama mandala). Tapi semua bangunannya bersifat sementara, hanya dibuat dari kayu dan bambu. Alasannya, karena tempat ini hanya dipinjami oleh pemilik lahan untuk upacara ngeroras saja, setelah itu kembali jadi lahan kosong.


Eksplorasi Tempat Ngeroras

Begitu kami sampai, Bapak menyuruh kami untuk sembahyang dulu di Utama Mandala. Habis itu, baru deh saya mulai mengeksplorasi tempat ini. Dimulai dari Nista mandala atau area luar, tempat para anggota keluarga bersar dan tamu undangan berkumpul. Di sini tersedia beberapa saung besar dan kursi-kursi plastik yang dijejer dengan rapi. Para tamu disuguhkan cemilan, minuman, serta dijamu makan besar (nasi beserta lauk-pauknya). Sayangnya, wilayah ini menyatu dengan parkir motor, dimana menurut saya harusnya ada tempat parkir yang terpisah.

Lanjut ke area Madya Mandala atau area tengah, dimana masih terdapat beberapa saung dengan sebuah area bertenda yang cukup luas berada di tengah. Di salah satu saung terdapat para pemusik gamelan Bali yang sibuk memeriahkan acara dengan alunan gamelannya. Pada area ini juga terdapat bale-bale tempat akan dilangsungkannya upacara potong gigi massal. Saya juga melihat ada beberapa sesajen, peralatan masak yang masih baru (sebagai persembahan upakara) dan beberapa hewan kurban yang diletakkan di tengah Madya Mandala ini. Ngomong-ngomong, hewan-hewan kurban di sini masih pada hidup loh, mulai dari babi, landak, anjing, ayam, burung, kerbau, sapi, kambing, hingga bebek.

Terakhir adalah area Utama Mandala, yaitu area yang paling disucikan. Di sana terdapat beberapa saung sebagai tempat menaruh sajen, juga bale kecil tempat orang menyanyikan kidung (Bapak juga nyobain mekidung ternyata~). Di tengahnya, terdapat sebuah bale-bale yang besar sekali, berisi banyak banget sesajen dengan bentuk beraneka ragam. Ada juga sebuah bangunan mirip menara 2 tingkat, yang didalamnya terdapat simbolis dari roh-roh leluhur yang akan “dirorasin” (ditingkatkan derajatnya dalam upacara ngeroras). Di sini juga ada semacam padmasana seperti yang berada di Pura.


Upacara Ngeroras Hari Pertama

Sekitar pukul 10:00, saya bersama saudara-saudara saya diajak untuk makan siang dengan cara megibungan. Megibungan itu adalah cara makan dengan menempatkan nasi dan lauk-pauk di sebuah tampah besar, dimana beberapa orang sekaligus makan bersama di sana. Lauk-pauknya ada sate ayam, sate babi, sayur lawar, hingga pepesan. Seusai makan, kami bersiap untuk melaksanakan rangkaian pertama dari upacara ngeroras. Orang-orang pun makin banyak yang datang ke sini.

Acara dimulai dengan menurunkan simbolis roh leluhur dari atas menara, yang kemudian dibawa oleh para ibu-ibu di atas kepala mereka. Kemudian, simbolis tersebut diarak mengelilingi area ngeroras mulai dari Nista, Madya, hingga Utama Mandala, bersama sesajen, peralatan upakara, dan hewan-hewan kurban. Semua orang pun turut serta mengelilingi area tersebut sebanyak 3 kali putaran. Para pemangku sibuk mengucapkan mantra, sementara beberapa ibu-ibu memainkan musik dari alu yang dipukul-pukul ke lesung panjang, menirukan cara menumbuk padi.

Acara berlangsung sangat meriah kala mengelilingi tempat upacara ngeroras ini. Setelah 3 putaran, semua simbolis ditempatkan pada bale-bale yang besar di Utama Mandala, sementara sajen, alat upakara dan hewan kurban ditempatkan di lapangan tengah area ini. Pukul 11:00, semua orang sembahyang bersama di depan bale-bale besar, menghadap para leluhur yang hadir dalam upacara ngeroras ini. Suasana yang tadinya riuh menjadi hening seketika, yang terdengar hanya lantunan doa dari pemangku dan dentingan bajra. Semuanya berharap agar seluruh rangkaian upacara ngeroras ini bisa berjalan dengan lancar.


Beristirahat Sejenak

Selesai dari rangkaian upacara pertama, semuanya pun beristirahat sambil ngobrol, bersilaturahim, dan ngopi-ngopi. Saya berkumpul bersama saudara-saudara saya di Madya Mandala, sambil bercanda bareng. Sekitar pukul 14:00, saya dan Mama memutuskan untuk balik ke kubu, sementara yang lain masih betah tetap di sana. Di perjalanan, saya banyak mengobrol sama Mama (saya memang paling dekat dengan Mama). Mama memutuskan untuk mampir sebentar ke rumah adiknya (Bibi Dewayu) yang terletak tidak jauh dari rumah orang tua Mama. Di sana kami mengobrol sebentar, hingga akhirnya saya kembali ke kubu dengan dibonceng Dewi (adik saya) naik motor (sementara Mama masih tetap di sana).

Sampai di kubu, niatnya mau tidur siang lantaran capek banget habis mondar-mandir. Tapi gara-gara minum beberapa gelas kopi, saya jadi gak bisa tidur (gak biasa minum kopi jadi kaget begini). Tiba-tiba Mama menelepon saya, meminta Dewi jemput mama pulang ke kubu. Pas Mama dan Dewi tiba di kubu, si Dewi ngajakin saya kabur ke luar desa untuk makan mie ayam! Huaaah, kebetulan perut saya juga lagi pengen diisi~ Kami berdua naik motornya Aji Mangku ke sana.

Kalau naik motor bareng, biasanya saya yang selalu dibonceng sama Dewi (karena saya gak punya SIM dan malas mengendarai), tapi kali ini saya mencoba untuk mengendarai motor ini. Awalnya sih gemeteran juga, lantaran jalanan di sini memang tergolong ekstrim. Syukurlah kami tiba dengan selamat, di sebuah pasar bernama “Pasar Sengol”. Kami langsung mendatangi kios mie ayam, dan tak perlu menunggu lama, semangkok mie ayam pun siap dinikmati. Pulangnya, saya lagi yang menyetir, dan kali ini saya sudah jadi terbiasa~


Berkumpul dengan Keluarga Mama

Pukul 18:00, sehabis mandi saya ngobrol sebentar di teras rumahnya Aji Mangku. Oh iya, Aji Mangku saat itu sedang sakit, jadi tidak bisa berlama-lama di tempat ngeroras. Sedangkan istrinya (Biang Mangku), bersama para pemangku lainnya lah yang bertugas di sana. Kami banyak ngobrol soal keluarga besar kakek, dan tentang upacara ngeroras ini. Tak lama Bapak datang dari Piadnyan dan ikut mengobrol bersama kami. Tiba-tiba, ada Bli Sukma (sepupu saya dari lombok, anaknya kakaknya Mama) dan ponakan saya (anaknya Bli Agus, sepupu saya) datang berkunjung ke rumah Aji Mangku. Mereka tampaknya habis mandi di petung (sungai kecil yang airnya super jernih).

Baca juga: Pulang Ke Bali: Upacara Ngaben

Setelah mereka berdua pamit, saya sekeluarga makan malam di rumah Aji Mangku. Sekitar pukul 19:00, saya, Mama, Bapak, Dewi dan Arya pergi ke rumah orangtuanya Mama. Dewi dan Arya naik motor, sementara kami bertiga jalan kaki. Rumah tersebut sebenarnya kosong, karena Kakek dan Nenek (kedua orang tua Mama) sudah lama meninggal. Pas ada upacara di kampung seperti upacara ngeroras ini, biasanya keluarga Mama dari Lombok lah yang menempati rumah sederhana ini. Di sana kami disambut oleh mereka, terutama sepupu-sepupu saya dari Lombok. Kami lebih sering berkumpul dengan keluarga dari Bapak ketimbang keluarga dari Mama, jadi pas momen seperti ini harus dinikmati dong~

Ada 2 keluarga kakaknya Mama yang datang dari Lombok. Kami semua banyak ngobrol bareng, bercanda dan silaturahim. Eh, tahu-tahu mereka sudah menyiapkan makan malam untuk dimakan bersama, yaitu gulai entog dan sayur nangka! Padahal barusan sudah makan malam, tapi karena gak tahan dengan aroma masakannya yang bikin air liur keluar terus, akhirnya saya makan juga (kalap makan malam dua kali). Habis makan, kami ngobrol-ngobrol lagi. Hingga pukul 23:30, kami semua mulai ngantuk. Saya sekeluarga pamit untuk pulang ke kubu. Jalanan menuju kubu sepi sekali kalau malam-malam. Untung saya bersama Mama dan Bapak (Dewi dan Arya sudah duluan)~ Sampai di rumah Aji Mangku, kami langsung tidur. Benar-benar hari yang menyenangkan!


bersambung ke: Upacara Ngeroras (Bagian 3)

Salam,
Agung Rangga

Diterbitkan oleh

Agung Rangga

Hai, salam kenal! Saya adalah seorang dosen di jurusan Desain Komunikasi Visual, memiliki minat dengan animasi dan komik, serta hobi menuliskan cerita kehidupannya ke dalam blog ini.

32 tanggapan untuk “Upacara Ngeroras (Bagian 2)”

  1. Nice share.. Soalnya sy bener-bener baru tau upacara ini..hehehe..
    Btw, gara2 sebut sekresek pisang goreng dan kabur makan mie ayam saya jadi lapar.. Hahahaha #salahfokus #plakkk

  2. Baru kali ini saya dengar tentang upacara ngeroras. Selama ini upacara Bali yang saya tahu hanya ngaben.
    Mulia sekali cara orang Bali menghormati orangtuanya sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai potong gigi segala 🙂

Tinggalkan Balasan