Upacara Ngeroras (Bagian 3)

Upacara Ngeroras merupakan sebuah upacara untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal, dan biasa dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali setelah melaksanakan upacara ngaben. Hari pertama mengikuti upacara ini benar-benar berkesan, karena acaranya yang meriah dan ramai. Bagaimana dengan hari-hari berikutnya?

Lanjutan dari Upacara Ngeroras (Bagian 2)


Istirahat di Kubu

Esok paginya (21 September 2015), setelah sarapan lontong pecel yang baru dibeli oleh Mama, saya segera mandi dan bersiap untuk pergi ke Piyadnyan (tempat upacara ngeroras). Sudah pakai pakaian rapi dan wangi, Mama memberitahu saya agar tidak usah ke sana. Alasannya, hari ini tidak ada rangkaian upacara yang spesial seperti kemarin, dan hanya akan melayani tamu-tamu desa yang datang saja. Ooh, ya sudah kalau begitu. Akhirnya cuma Mama, Bapak, Dewi (adik saya) serta beberapa paman dan bibi saja yang ke sana. Sementara saya, Arya (adik saya) dan beberapa sepupu yang masih kecil tetap tinggal di kubu (anggap saja seperti jadi babysitter sehari).

Cuma si Dewi yang berpakaian rapi
Cuma si Dewi yang berpakaian rapi

Di kubu (rumah kakek), kami hanya nonton tv saja. Sesekali saya bermain ponsel dan ngobrol sama sepupu-sepupu di sana. Siangnya, saya makan ke rumah Aji Mangku (paman saya), dan habis itu langsung ngobrol banyak tentang keadaan kampung, keluarga, dan lain-lain sama beliau. Oh iya, Aji Mangku ini adiknya Bapak, dan beliau merupakan seorang pemangku (pendeta adat) di desa Padang Aji. Waktu itu beliau sedang sakit, jadi tidak bisa berlama-lama di Piyadnyan.

Baca juga: Upacara Ngeroras (Bagian 1)

Sorenya, saya bersama para adik sepupu berangkat ke petung (sungai kecil dengan air yang super jernih). Untuk sampai ke sana, kami harus melewati jalan yang meliuk-liuk, menanjak, melewati sawah kangkung, dan menyeberangi jembatan semen licin yang lebarnya hanya muat untuk jalan satu orang. Tiap sore, petung memang jadi tempat langganan masyarakat desa ini untuk mandi bersama. Iya, mandi bareng-bareng! Tenang, area mandinya dipisah antara laki-laki dan perempuan, dan jaraknya juga lumayan jauh.

Sayangnya, tempat pancuran air di petung kini sudah ditutupi oleh batu-batu besar, dan hanya menyisakan kolam yang luasnya cukup kecil. Berbeda dengan dulu, dimana pancurannya masih banyak dan kolamnya cukup besar. Alhasil, kami harus menunggu untuk bergantian mandi di sana. Pas orang yang mandi selesai, kami pun melepas pakaian kami dan menaruhnya di semak-semak dan batu pinggir petung. Berendam sebentar di kolamnya, membersihkan badan dengan sabun dan alat mandi lainnya, kemudian berendam lagi. Maaf ya, saya tidak bisa mengambil foto petung karena tidak bawa ponsel (juga karena malu, gak boleh dong orang mandi difoto~).

Pulang dari petung, saya mengajak para adik sepupu untuk sembahyang bersama di merajan Kakek di kubu. Sebagai cucu laki-laki pertama, saya harus mencontohkan yang baik dong pada mereka~ Habis itu, kami semua makan mie rebus campur nasi putih. Sekitar jam 20:00 WITA, saya, Mama dan Arya berkunjung ke rumah kakaknya Mama di dekat sekolah dasar di desa kami. Di sana kami disuguhi pisang rebus dan teh anget manis. Saya cuma bisa menghabiskan pisangnya, sambil menunggu Mama ngobrol dengan paman dan bibi di sana. Dua jam kemudian, baru deh pulang ke kubu dan istirahat.


Ke Piyadnyan Lagi

Hari ini (22 September 2015) saya akan berangkat ke Piyadnyan lagi. Habisnya, kemarin seharian di kubu ternyata bosan juga sih. Makanya, pagi itu setelah sarapan kue pancong (mirip pukis tapi lebih lembut), kami sekeluarga berangkat deh ke sana. Naik apa? Ya jalan kaki dong~ Lagi pula, pemandangan di sepanjang jalan menuju Piyadnyan juga bagus kok, apalagi kalau udah melewati desa.

Begitu sampai di sana, kami langsung sembahyang, baru habis itu bebas mau ngapain aja. Seperti biasa, saya keluarkan ponsel yang baterainya sudah terisi penuh, dan langsung merekam suasana di Piyadnyan. Ternyata pagi itu cukup sepi, jadi saya bebas mengelilingi area tempat upacara ngeroras ini dengan lebih leluasa (ditemani sama Arya).  Di sana tampak beberapa ibu-ibu sedang membuat sajen, juga pemangku yang kelihatan sibuk menulis sesuatu di atas daun kering yang menyerupai kertas. Saya juga melihat beberapa perlengkapan upakara sudah disiapkan untuk acara nanti malam.

Sekitar jam 12:00, ada sekelompok ibu-ibu yang memainkan musik dengan menggunakan lesung dan alu (alat menumbuk padi tradisional). Hari itu sepertinya tidak ada tamu dari luar desa yang datang, makanya suasananya agak sepi. Di sana saya diajak makan siang dengan nasi pakai lauk sate babi. Satu jam kemudian pulang naik motor bareng Arya dan Agus (adik sepupu). Hahaha, naik satu motor bertiga dengan jalan yang cukup ekstrim. Sampai di kubu, sempat ngobrol cukup lama dengan si Agus ini. Dia yang saat ini sedang sekolah di SMK, penasaran dengan kehidupan mahasiswa, makanya ngobrol sama saya~ Habis itu balik ke rumah Aji Mangku dan tidur siang sebentar.


Persiapan Upacara Metatah

Lagi asik tidur, tahu-tahu saya dibangunin sama Arya. Ternyata, para adik sepupu lagi makan bakso di depan rumah Aji Mangku. Owalah, untung aja dibangunin, jadi deh makan bakso semangkok buat nambahin energi sore itu. Tukang baksonya biasa keliling desa menggunakan gerobak yang disangkutin di motor, dan karena ini di Bali, bakso yang dijual tentunya adalah bakso ayam (bukan bakso sapi). Pas selesai makan bakso, tiba-tiba tangan saya kejatuhan pup burung! Iyuuuh… Saya pun langsung ditertawakan sama yang lain. Tapi kata Aji Mangku, itu bawa rejeki. Ya, ya, whatever~

Makan bakso dulu
Makan bakso dulu

Habis makan, kok ya ngantuk lagi (efek kekenyangan). Akhirnya balik tidur lagi, dan bangun-bangun sudah jam 17:25 WITA aja. Habis mandi main ke rumahnya Aji Putu. Di sana, si Dewi memasak mie goreng untuk 10 porsi, iya, buat saya dan adik-adik sepupu di sini. Ahahaha, dipakailah dapur milik Aji Putu untuk memasak. Setelah semuanya selesai makan, kami sekeluarga besar sembahyang di merajan Kakek dan merajan Aji Mangku. Sekitar pukul 20:00, kami semua berangkat ke Piyadnyan naik beberapa mobil. Karena terlalu penuh, jadi agak berdesakan deh di dalam mobil.

Baca juga: Pulang ke Bali: Berangkat!

Sampai di sana, ternyata sudah ramai sekali! Soalnya, besok sebelum subuh akan diadakan upacara metatah atau potong gigi (akan saya ceritakan di tulisan berikutnya). Tidak lupa, kami sembahyang lagi di Utama Mandala-nya, lalu nonton beberapa pertunjukkan tari-tarian dan musik gamelan yang digelar di Madya Mandala. Tiba-tiba, saya diajak oleh Bli Sukma (sepupu saya dari keluarga Mama) untuk ngopi-ngopi di warung depan Piyadnyan. Ya, lumayan lah sambil ngangetin badan di malam yang dingin ini (sumpah, beneran dingin!). Oh iya, saya dengan Bli Sukma ini sebenarnya seumuran. Karena dia 3 hari lebih tua dari saya, makanya saya panggil dia Bli, hehehe~ (bilang aja pengen dikira awet muda, Gung~)

Persiapan untuk upacara metatah ini benar-benar direncanakan dengan sangat baik. Terlihat beberapa sajen baru sudah tersedia baik di Utama maupun Madya Mandala. Ruangan untuk peserta yang giginya akan dipotong nanti (sebenarnya cuma dikikir sedikit sih) juga sudah siap. Sambil menahan kantuk (padahal sudah tidur siang lama banget), saya coba untuk mengobrol dengan yang lain. Ahh, jadi tidak sabar melihat prosesi upacara potong gigi esok hari!


Bersambung ke: Upacara Ngeroras (Bagian 4)

Salam,
Agung Rangga

Agung Rangga

Hai, salam kenal! Saya adalah seorang dosen di jurusan Desain Komunikasi Visual, memiliki minat dengan animasi dan komik, serta hobi menuliskan cerita kehidupannya ke dalam blog ini.

Comments (28)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Press ESC to close