Press ESC to close

Upacara Ngeroras (Bagian Akhir)

Upacara Ngeroras merupakan sebuah upacara untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal, dan biasa dilakukan oleh masyarakat Hindu di Bali setelah melaksanakan upacara ngaben. Setelah melakukan upacara potong gigi, maka dimulailah acara puncak dari upacara ngeroras.

Lanjutan dari: Upacara Ngeroras (Bagian 4)


Keramaian di Piyadnyan

Masih di hari yang sama (23 September 2015), sekitar pukul 10:00 saya, Mama, Bapak dan Arya balik lagi ke Piyadnyan (jalan kaki tentunya), lengkap dengan pakaian sembahyang yang rapi. Si Dewi akan menyusul belakangan, karena masih dandan di salon. Begitu sampai di sana, ternyata sudah ramai banget penduduk desa yang berkumpul untuk melaksanakan puncak dari upacara ngeroras ini.

Bapak langsung masuk ke dalam, sementara saya, Arya dan Mama ditahan oleh keluarganya Mama karena mereka ingin foto-foto bersama lagi. Selesai berfoto ria, saya mulai mengabadikan suasana persiapan upacara menggunakan kamera ponsel saya. Sayup-sayup, terdengar alunan merdu dari bapak-bapak yang melantunkan kidung, sementara para pemain gamelan sedang mempersiapkan alat-alat musiknya.

Tiba-tiba Mama bilang ke saya kalau Dewi minta dijemput, dan saya pun dipinjamkan motor sama Dewayu (adik sepupu saya). Pas begitu mau menyalakan motor, tahu-tahu ada seorang bapak-bapak yang menghampiri saya. Beliau minta tolong dibelikan 6 botol air mineral untuk yang membantu-bantu di Piyadnyan.

Ini pertama kalinya saya naik motor sendirian menuruni jalan dari Piyadnyan yang cukup ekstrim. Syukurlah, sampai di pusat desa, masih ada warung yang jualan, dan berhasil mendapatkan apa yang diminta oleh bapak-bapak tadi. Tiba-tiba Dewi menelepon saya, bilangnya gak usah jemput, soalnya sudah ada yang mengantarkan ke Piyadnyan. Duh, ya sudahlah, saya balik sendiri saja ke sana.

Setelah memberikan botol air mineralnya ke bapak-bapak tadi, akhirnya si Dewi datang bersama adik sepupu saya Ayu Gek. Setelah menghabiskan beberapa jam di salon, mereka berdua tampak menor banget dengan payas (hiasan rambut wanita Bali) dan make-up yang gonjreng~ Ternyata, selain mereka berdua, beberapa remaja perempuan yang tadi melaksanakan upacara metatah juga berdandan heboh.

foto keluarga (minus Arya)
foto keluarga (minus Arya)

Karena sudah pada kumpul, saatnya bikin foto keluarga baru dong, ya~ Sayangnya, si Arya ketiduran di Madya Mandala gara-gara kelamaan nunggu si Dewi. Alhasil, cuma foto berempat deh… Gak apalah, nanti foto berlimanya pas saya wisuda aja~


Puncak Upacara Ngeroras

Jam 12:00 WITA, puncak upacara ngeroras di mulai. Para pemangku dan pendeta bersiap-siap membawa banten (sesajen), kemudian mulai mengelilingi Utama Mandala sambil membacakan mantra dan memercikkan tirta. Banten tersebut diayab-ayabkan (dihaturkan) ke arah tumpukan sajen yang tersusun indah di area tengah Utama Mandala. Lalu para pemangku tersebut naik ke menara tempat ditaruhnya simbolis dari roh-roh leluhur yang akan dirorasin (ditingkatkan derajatnya dalam upacara ngeroras).

Simbolis ini jumlahnya banyak, menyesuaikan dengan jumlah roh leluhur yang akan dirorasin. Bentuk simbolisnya sendiri berupa bokor perak kecil (wadah sajen khas masyarakat Hindu Bali) yang didalamnya berisi berbagai macam sesajen. Satu-persatu, simbolis ini diturunkan oleh para pemangku dari atas menara, kemudian para ibu-ibu di bawah pada berebut untuk membawa simbolis-simbolis ini di atas kepalanya. Aji Made (saudara tertua Bapak) membawa bokor berisi sesajen dengan batang tebu yang digendong, persis pas saya melaksanakan upacara ngaben kakek tahun lalu.

Setelah semua simbolis diturunkan, semua banten tersebut diarak mengelilingi Utama Mandala dalam satu barisan. Di barisan depan ada para pemangku, seekor lembu putih dan Aji Made dengan banten besarnya, sementara di belakangnya barisan ibu-ibu yang membawa simbolis. Mereka semua berputar (kalau gak salah) sebanyak 3 kali, lalu pukul 14:00 semua umat yang berada di sana melakukan persembahyangan muspa (menggunakan bunga) sebanyak 11 kali.

Selesai sembahyang, berikutnya adalah upacara otonan untuk anak-anak yang belum bisa melakukan upacara potong gigi, dimana rambut sang anak digunting sedikit di atas menara tadi. Sembari menunggu rangkaian upacara selesai, saya diajak Mama untuk makan siang (laper banget soalnya!). Jam 15:30, saya dan keluarga balik ke kubu, tidur sore, dan karena capek banget, bangun-bangun sudah jam 18:00. Malamnya, para orang tua pergi ke Piyadnyan untuk menyiapkan banten upacara besok hari.


Nganyud di Pantai

Besoknya (24 September 2015), sekitar pukul 10:00, semua keluarga pergi ke pantai di area Pura Goa Lawah untuk melaksanakan upacara nganyud, yaitu melarungkan simbolis-simbolis roh leluhur ke laut, agar derajatnya ditingkatkan oleh Sang Hyang Widhi. Selain simbolis-simbolis, tiga wadah putih besar yang berbentuk seperti pelinggih padmasana juga bakal dihanyutkan.

Begitu sampai di pantai, Mama menyuruh saya untuk makan nasi jenggo (nasi bungkus khas Bali), biar nanti gak lapar. Siang itu sinar matahari sangat terik, jadi hampir semua umat yang datang memilih duduk di bawah pohon-pohon besar yang teduh. Gara-gara kekenyangan, ditambah angin pantai yang berhembus lembut, saya jadi merasa ngantuk (padahal mau sembahyang).

Pukul 12:00, pendeta mulai membunyikan genta dan membacakan mantra. Didepannya sudah tertata banten-banten dan simbolis-simbolis, sementara para umat duduk di belakang pendeta. Setelah pemangku memercikkan tirta, dimulailah persembahyangan hari itu, yaitu dengan muspa menggunakan bunga.

Habis sembahyang, semua umat berdiri dan mulai berjalan menuju arah laut. Diiringi musik gamelan, satu-persatu simbolis yang dibawa tadi mulai dihanyutkan ke laut. Sayangnya, warga sekitar pantai terus mengerubungi kami, karena mereka berebut mengambil sesari (uang persembahan yang ada di dalam banten). Sebenarnya sih boleh-boleh saja mengambil sesari dari sajen, namun harusnya ya pas umat telah selesai melaksanakan upacara, dong. Jam 13:50, upacara selesai, kami semua kembali ke kubu.


pulang-pulang jadi gosong
pulang-pulang jadi gosong

Dengan begini, rangkaian prosesi upacara ngeroras di keluarga besar kami telah resmi selesai. Semua persiapan yang sudah dibuat dari setelah ngaben kakek pun tidak sia-sia, semuanya berjalan lancar. Sebenarnya tulisan ini masih berlanjut, yaitu tentang perjalanan pulang keluarga saya dari Bali kembali ke Bekasi, tapi judulnya nanti bukan upacara ngeroras lagi. Semoga tulisan saya ini bisa menambah wawasanmu tentang adat istiadat masyarakat Hindu Bali, khususnya seputar upacara keagamaan seperti ngeroras ini.

Salam,
Agung Rangga

Agung Rangga

Hai, salam kenal! Saya adalah seorang dosen di jurusan Desain Komunikasi Visual, memiliki minat dengan animasi dan komik, serta hobi menuliskan cerita kehidupannya ke dalam blog ini.

Comments (24)

Tinggalkan Balasan ke Agung Rangga Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *