Liburan Awal Tahun (Bagian 3)

Di hari ketiga liburan di Bali, saya bersama keluarga melakukan persembahyangan di beberapa pura yang terletak di sekitar kami. Salah satunya adalah pura yang terkenal di Bali, yaitu Pura Pasar Agung, yang terletak di Gunung Agung.

Lanjutan dari: Liburan Awal Tahun (Bagian 2)


Merajan Kakek

Pagi itu (25 Januari 2017) sekitar jam 07:00 WITA, saya memulai hari dengan sarapan mie goreng. Kemudian segera mandi, dan berpakaian rapi, karena hari ini kami sekeluarga akan sembahyang ke salah satu pura terkenal di Bali, yaitu Pura Pasar Agung. Oh iya, sambil menunggu yang lainnya bersiap-siap, saya sempatkan diri untuk sembahyang di merajan milik mendiang Kakek, yang letaknya ada di dalam kubu.

Seperti yang sudah saya utarakan di tulisan sebelumnya, merajan ini sekarang terlihat lebih rapi dan indah. Di sana saya sembahyang tri sandhya dan panca sembah, berdoa untuk keselamatan kami sekeluarga dan memohon berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selesai sembahyang, saya berkumpul dengan saudara-saudara saya di teras rumah. Ngobrol-ngobrol sama mereka, sambil bercanda.

bersama saudara dan sepupu
bersama saudara dan sepupu

Ketika semuanya sudah siap, kami pun mulai masuk ke dalam mobil. Oh iya, ini mobilnya Aji Lanang, yang kemarin menjemput saya sekeluarga di bandara. Bapak meminjam mobil Aji Lanang untuk digunakan dalam perjalanan menuju Pura Pasar Agung. Di dalam mobil ada keluarga saya (berlima), Uwak, dan sepupu saya Ayu Astiti dan Adik Lanang. Sementara Aji Putu naik motor membawa istri dan kedua anaknya.

Baca juga: Pulang Ke Bali: Upacara Ngaben


Pura Lawangan

Perjalanan menuju Pura Pasar Agung ternyata seru banget. Jalanannya berliku-liku, meliuk-meliuk seperti ular. Di salah satu sisinya adalah jurang, yang menyajikan pemandangan sangat indah. Kami melewati hutan dengan beragam jenis pohon, mulai dari bambu, jati, hingga pinus.

sembahyang di pura lawangan
sembahyang di pura lawangan

Di tengah perjalanan, Uwak menyuruh Bapak untuk menghentikan kendaraan di depan sebuah pura. Bentuknya sih hanya berupa sebuah padmasana besar, yang berdiri di area tanah lapang sisi kiri jalan. Tak jauh dari sini ada sebuah gubuk kecil yang sudah reyot. Pura ini bernama Pura Lawangan, dan kami semua sembahyang panca sembah di sini.

pura lawangan karangasem
pura lawangan karangasem

Kata Uwak, nama daerah ini adalah Desa Sogra. Wow, itu merupakan sebuah nama desa yang sangat unik bagi saya. Pas dipikir-pikir, Desa Sogra ini terletak di Gunung Agung, gunung tertinggi yang ada di Bali. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan surga/sorga, tempat indah yang letaknya nun jauh di atas sana. Begitu selesai sembahyang, perjalanan menuju Pura Pasar Agung kami lanjutkan kembali.

Baca juga: 5 Pura Favorit di Bali


Pura Melanting

Sekitar pukul 09:21, akhirnya kami sampai di area Pura Pasar Agung, tepatnya di lapangan parkir. Cukup sepi, hanya ada sebuah truk, dua mobil, dan beberapa sepeda motor yang terparkir di sana. Ada juga beberapa warung kecil yang menjual makanan & minuman.

Oh iya, begitu sampai di sini, kita bakal langsung disambut dengan ratusan anak tangga, yang siap mengantarkan kita menuju puncak pura. Anak tangganya memiliki ukuran yang lumayan lebar, namun karena banyak ditumbuhi lumut, kita harus hati-hati agar tidak terpeleset.

Sambil menikmati pemandangan dan keasrian lingkungan pura, kami semua mulai menaiki anak tangga tersebut. Jika merasa sedikit lelah, kita bisa berhenti sebentar dan menghirup udara yang segar. Cukup mendaki selama 15 menit, kami pun sudah sampai di puncak Pura Pasar Agung, tepatnya di madya mandala (area tengah).

Sebelum sembahyang di bagian utama pura, kami melakukan persembahyangan dahulu di Pura Melanting. Untuk menuju pura ini, kami harus menaiki anak tangga lagi (kali ini jumlahnya sedikit), dan belok ke kanan (kalau gak salah).

Ukuran Pura melanting ini agak kecil, dan berisi banyak pelinggih yang mengelilingi tempat sembahyangnya. Dipimpin oleh seorang pemangku, persembahyangan kami pun dimulai. Dengan khusyuk, kami melantunkan doa-doa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Baca juga: Tirtayatra di Bali (Pasca Upacara Ngeroras)


Pura Pasar Agung

Pukul 10:00, kami selesai sembahyang di Pura Melanting, dan lanjut sembahyang ke pura di utama mandala, Pura Pasar Agung. Saat itu kabut mulai turun, dan suhu udara pun menjadi tambah dingin. Kami semua masuk ke dalam gapura besar yang indah, dan sampailah di area persembahyangan yang luas sekali.

Di sana ternyata ada rombongan umat yang juga akan sembahyang. Mereka duduk di samping rombongan keluarga kami. Di depan mereka, tampak sebuah “gunungan” yang berisi hasil panen seperti beras, buah, dan sesajen lainnya. Sementara di depan kami terdapat seorang pemangku yang siap menuntun persembahyangan kami.

Saat saya perhatikan, sepertinya mereka akan sembahyang duluan. Terdapat seorang pemimpin doa yang merapalkan mantra dengan membunyikan semacam “mangkuk-dari-emas-yang-berdengung-saat-digosok-dengan-semacam-tongkat” (maaf, saya lupa namanya apa…).

Mantra doanya pun berbeda dengan mantra doa Hindu yang biasa saya dengar. Pas diperhatikan lebih dalam lagi, beberapa diantara mereka ada yang mengenakan baju cheongsam berwarna merah. Dan kalau diingat-ingat, hari itu berdekatan dengan perayaan… Imlek!

Ahh, ternyata mereka umat Tionghoa yang sedang sembahyang di sini! Iya, saat saya sembahyang di Pura Gunung Salak yang ada di Bogor pun juga ada umat Tionghoa yang sembahyang. Jadi ingat dengan kata-kata Bapak, “semua orang, apapun agamanya, boleh datang ke pura dengan tujuan untuk sembahyang/berdoa”.

Setelah mereka selesai berdoa, barulah kami melaksanakan persembahyangan. Setelah itu, kami semua dipercikkan tirta oleh pemangku, pertanda bahwa persembahyangan telah selesai. Habis itu Saatnya turun ke madya mandala untuk makan siang.

foto bersama di tengah kabut
foto bersama di tengah kabut

Di sana kami makan dengan nasi bungkus yang berisi lauk mie goreng, tempe orek kering, dan daging babi. Biarpun sederhana, tapi nikmat sekali~ Selesai makan, kami semua berfoto bersama di depan gapura, kemudian turun ke parkiran mobil dan pulang ke kubu. Kabutnya sudah mulai tebal, jadi harus hati-hati~

Baca juga: Upacara Ngeroras (Bagian 4)


Pura Merajan Kangin & Pura Puseh Padangaji

Begitu sampai di kubu, saya langsung tidur siang, capek banget~ Kemudian bangun jam 14:00, mandi dan bersiap untuk sembahyang odalan ke Pura Merajan Kangin. Sayangnya, saat itu saya tidak membawa ponsel, karena gerimis dan takut ponsel saya basah, jadi tidak bisa foto-foto. Yang jelas, di sana ramai sekali yang sembahyang.

Setelah makan malam dengan daging urutan, ayam sambal dan sayur labu siam, pukul 19:00 kami sekeluarga jalan kaki ke Pura Puseh Padangaji, yang merupakan pura desa. Di sana juga ramai yang sembahyang, dan saat itu kami sedang memperingati hari raya Pagerwesi.

Hari Raya Pagerwesi jatuh setiap Rabu Kliwon wuku Sinta. Hari ini dirayakan untuk memuliakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan manifestasinya sebagai Sang Hyang Pramesti Guru (Tuhan sebagai guru alam semesta). Hari ini dirayakan karena mengandung filosofis sebagai simbol keteguhan iman.

wefie bertiga sebelum sembahyang
wefie bertiga sebelum sembahyang

Pukul 20:00 persembahyangan dimulai. Seluruh umat yang berasal dari desa Padangaji sembahyang dengan sangat khusyuk. Selesai sembahyang, kami pun pulang ke kubu dan beristirahat, menanti kegiatan apa yang akan kami lakukan esok hari.


Bersambung ke: Liburan Awal Tahun (Bagian 4)

Salam,
Agung Rangga.

Agung Rangga

Hai, salam kenal! Saya adalah seorang dosen di jurusan Desain Komunikasi Visual, memiliki minat dengan animasi dan komik, serta hobi menuliskan cerita kehidupannya ke dalam blog ini.

Comments (11)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Press ESC to close