
Setelah kemarin melakukan perjalanan yang cukup panjang dari Bekasi, akhirnya kami tiba juga di Magelang. Begitu sampai di kota yang indah ini, kami langsung mencari penginapan untuk bermalam di sana. Malam itu kami putuskan untuk beristirahat dulu, sebelum mempersiapkan kegiatan untuk esok hari, yaitu sembahyang di Candi Borobudur.
Lanjutan dari: TripBoroBanan 1 : Perjalanan Bekasi – Magelang
Menuju Candi Borobudur
Ahh, semalam tidur saya nyenyak sekali~ Mungkin karena kemarin memang capek banget sih ya~ Sekitar jam 6 pagi (29 Juni 2017), Bapak membangunkan saya dan langsung menyuruh saya untuk mandi. Brr, segar sekali mandi di pagi itu~ Untung kami dapat penginapan yang murah dengan air kamar mandi yang bersih.

Habis itu saya tengok anggota keluarga saya yang ada di kamar lain. Ternyata mereka juga telah selesai mandi dan sedang bersiap-siap untuk jalan lagi. Eh, tapi tiba-tiba Bapak menghilang! Kata Mama sih lagi mencari sarapan di luar penginapan. Tapi, sudah hampir 30 menit belum balik-balik (mana ponselnya tertinggal di kamar lagi…).
Dengan terpaksa, kami pun menunggu di penginapan sambil menyusun agenda hari itu. Tidak lama kemudian, akhirnya Bapak datang tanpa bawa apa-apa. Katanya belum ada warung makan yang buka (ya iyalah, ini kan masih terlalu pagi), dan beliau keasyikan ngobrol sama penduduk sekitar (hmph, kebiasaan…).
Akhirnya kami sekeluarga pamit dari penginapan tersebut, dan langsung masuk ke dalam mobil. Lewat panduan dari Google Maps, kami memulai perjalanan menuju Candi Borobudur. Untungnya, penginapan kami tidak terlalu jauh dari candi. Perjalanan menuju ke sana hanya sekitar 1 jam saja, itu pun tidak terkena macet di jalan.
Tiba di area Borobudur, kami sempat kesulitan untuk mencari tempat parkir mobil. Mengikuti arahan dari Google Maps, mobil kami malah salah masuk ke area Balai Konservasi Borobudur! Syukurlah petugas di sana berbaik hati untuk menunjukkan arah yang benar menuju tempat parkir di area candi. Owalah, ternyata sebelumnya kami salah belok, harusnya ke kanan, kami malah ke kiri~
Baca juga: Liburan Awal Tahun (Bagian 1)
Sembahyang di Candi Borobudur
Begitu masuk ke sana, syukurlah mobil kami masih kebagian tempat untuk parkir. Soalnya, ternyata pagi itu pengunjung yang datang ke Candi Borobudur sudah ramai sekali! Puluhan mobil dan bus sudah terlihat memenuhi tempat parkir, dan kayaknya akan terus bertambah hingga siang nanti. Iya juga sih, kan hari itu lagi libur lebaran.

Turun dari mobil, Bapak menyuruh kami semua untuk memakai kain sembahyang. Cuma Bapak dan Mama yang pakai pakaian sembahyang lengkap, sementara yang lain hanya pakai kain dan baju kasual saja. Sebenarnya pengen sih pakai pakaian sembahyang lengkap, cuma, saya malu dilihat pengunjung yang lain…
Oh iya, pas terakhir ke Borobudur (saat perpisahan SMA dulu), pengunjung wajib untuk memakai kain batik yang telah disediakan oleh petugas sebelum masuk ke Candi Borobudur. Namun katanya peraturan tersebut diubah jadi hanya untuk yang pakai celana/rok mini saja. Dan pas hari itu, saya tidak menemukan wisatawan yang memakai kain selain keluarga kami. Mungkin karena pengunjungnya terlalu banyak atau kebijakannya berubah lagi kali ya…

Kami berjalan menuju loket pembelian tiket masuk. Lucunya, untuk sampai ke sana, kami harus melewati “labirin” kios-kios pedagang di area Candi Borobudur! Jalanan dan plangnya dibuat memutar-mutar, tidak ada yang langsung menuju loket. Mungkin maksudnya biar dagangan di kios-kios itu laku dibeli oleh wisatawan. Tapi, kayaknya harus diberikan jalan alternatif deh buat yang mau langsung masuk tanpa lewat labirin kios itu. Biar lebih memudahkan wisatawan yang baru berkunjung ke Candi Borobudur.

Begitu sampai di loket tiket masuk, ternyata antreannya sudah panjang dong! Sekitar 5 menit saya dan Bapak mengantre di loket. Waktu itu, harga tiket masuknya sebesar Rp 40.000,- untuk dewasa, dan kami membeli sebanyak 6 tiket (total Rp 240.000,-). Menurut saya, harga segitu cukup terjangkau lah bagi wisatawan lokal. Lagipula, uang penjualan tiket ini nantinya untuk biaya perawatan candinya juga kan?

Tiket sudah di tangan, saatnya masuk ke area candi! Eh, sebelum masuk, ternyata pengunjung harus diperiksa dulu. Sayangnya, sajen untuk sembahyang yang kami bawa dari rumah tidak diperkenankan untuk dibawa masuk ke area candi. Kata petugasnya, untuk melakukan persembahyangan di area candi, harus punya izin dulu dari Balai Konservasi Borobudur. Karena ribet, akhirnya kami titipkan saja sajennya di tempat penitipan barang.

Begitu masuk ke area candi, wiiih, ruaaameee sekali~ Mungkin ada ratusan pengunjung yang datang pagi itu. Entah magnet apa yang menarik wisatawan lokal dan asing untuk datang ke salah satu situs bersejarah milik Indonesia ini. Semua orang dari berbagai golongan agama, ras, suku, berbaur menikmati kemegahan Candi Borobudur. Indah banget rasanya kalau sudah kayak gini~

Kami sekeluarga mengelilingi area candi, mencari tempat yang pas untuk sembahyang. Iya, walaupun tanpa dupa dan sajen, kami harus tetap menuntaskan tujuan kami. Bapak mengajak kami untuk sembahyang di kaki candi (Kamadhatu). Area ini cukup luas untuk dijadikan tempat duduk buat sembahyang, serta tidak terlalu ramai oleh pengunjung yang berlalu-lalang.
Persembahyangan dimulai, tanpa dupa, tanpa sajen. Dengan sekuat tenaga, saya buang rasa malu karena takut dilihat/diperhatikan oleh pengunjung yang lain (iya, saya memang introvert yang parah). Doa-doa kami panjatkan di dalam hati. Memohon perlindungan dan keselamatan, serta memuja Sang Buddha Gautama, yang tidak lain adalah awatara (inkarnasi) dari Dewa Wisnu.
Anehnya, pas mata saya terpejam saat sedang sembahyang, saya tidak bisa mendengar suara apapun, termasuk suara pengunjung yang ramai berbicara! Dunia serasa sunyi dan sepi. Tidak terasa, sudah 15 menit kami duduk di sana. Bapak yang paling lama sembahyangnya di antara kami. Beliau tampak sangat menikmati dan mendalami persembahyangan itu. Memang sih, ada rasa lega yang luar biasa menyelimuti hati saya karena bisa sembahyang di sana.
Baca juga: Upacara Ngeroras (Bagian 1)
Keliling Candi Borobudur
Usai sembahyang, tidak lengkap rasanya kalau tidak jalan mengelilingi Candi Borobudur ini. Kami segera bangkit dari tempat duduk, dan mulai naik ke puncak Candi Borobudur (Arupadhatu). Berjalan menuju ke sana sangat butuh perjuangan, lantaran makin bertambahnya pengunjung yang datang dan naik ke puncak.

Setelah sampai di atas, kami sekeluarga mulai berjalan mengelilingi puncaknya sebanyak 3 kali. Kalau tidak salah, nama ritual mengelilingi Borobudur ini adalah Pradakshina, yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari sisi Timur.
Selesai mengelilingi candi, tiba-tiba Bapak dihampiri oleh seorang petugas keamanan candi. Sang petugas dengan baik hatinya menawarkan Bapak dan kami sekeluarga untuk menyentuh patung Buddha yang berada di dalam stupa berterawang. Sebenarnya hal ini dilarang untuk dilakukan oleh wisatawan, tapi kami malah ditawari oleh sang petugas. Mungkin pak petugasnya tahu kalau kami ke sana bukan hanya untuk berwisata, melainkan juga sembahyang (terlihat jelas dengan pakaian kami).
Dipandu oleh petugas, kami bergantian memasukkan tangan ke dalam lubang stupa. Saat tiba giliran saya, hati saya jadi berdegup kencang. Sebelum memasukkan tangan saya berdoa dahulu, menyebut puja “Om Namo Buddhaya” di dalam hati. Awalnya saya ragu kalau tangan saya bakal sampai ke tubuh patung Buddha, tapi ternyata berhasil! Semoga kebaikan selalu menyertai kami.

Matahari mulai terik, dan waktu menunjukkan pukul 09:00. Kami memilih untuk turun dan menyudahi perjalanan di Candi Borobudur. Sudah terlalu ramai pengunjungnya, dan jalannya jadi berdesakkan. Saya jadi kasihan melihat petugas keamanan yang kewalahan karena berusaha menertibkan para wisatawan yang jumlahnya bekali-kali lipat dibanding mereka.

Dalam perjalanan menuju gerbang keluar candi, Bapak membeli cendera mata berupa miniatur patung Buddha. Untuk kembali ke parkir mobil, kami harus melewati labirin kios pedagang lagi. Di sana saya dan kedua adik saya beli oleh-oleh t-shirt bertuliskan “Jogja” (lah, Borobudur kan di Magelang…).
Lalu kami mampir ke salah satu warung makan yang ada di dalam labirin kios itu. Kami baru sadar kalau kami belum makan sama sekali dari pagi! Padahal tadi saya tidak merasa capek lho saat naik ke atas Candi Borobudur. Di sana saya makan nasi rames (nasi campur) dengan lauk beraneka ragam. Fyuh, kenyangnya~~~
Habis makan, kami berjalan sampai ke parkiran. Tempat parkirnya jadi makin ramai, dan banyak yang kesulitan mendapat tempat parkir. Bapak menyuruh kami menunggu di dekat mobil, sementara beliau mengambil sajen yang dititipkan pas masuk tadi. Tidak lama kemudian Bapak datang, dan kami semua kembali masuk ke mobil.
Sekarang mau ke mana? Waktu pun baru menunjukkan pukul 10:00 pagi. Hmm, sayang aja sih kalau langsung cari penginapan lagi. Oh iya, bagaimana kalau langsung ke Candi Prambanan! Biar tidak buang-buang waktu, mobil kami pun langsung keluar dari area Candi Borobudur. Google Maps siap memandu perjalanan kami berikutnya, menuju Candi Prambanan!
Bersambung ke: TripBoroBanan 3 : Sembahyang di Candi Prambanan
Salam,
Agung Rangga
Comments (20)
Alid Abdulsays:
22 Oktober 2017 at 09:49Sembahyang kok malu sih brooo. Lanjoott sajaaa. Baru ngeh ini kenapa sembahyang di Borobudur yang Buddha. Dan ingat klo pernah baca bahwa Gautama titisan Wisnu. Btw emang praktiknya Buddha disembah juga kah atau hanya ritual khusus?
Agung Ranggasays:
22 Oktober 2017 at 09:58Sebenarnya malu karena ramai banget sih mas, dan saya kira bakal susah buat khusyuk. 😂
Mungkin karena dibangun oleh wangsa Sailendra, yang merupakan penganut agama Buddha, jadi Borobudur dikhususkan untuk umat Buddha. Dan oleh karena itulah Candi Prambanan dibangun untuk umat Hindu. 😀
Sepengetahuan saya, kalau di Hindu mungkin tidak secara langsung menyembah Buddha, melainkan menyembah ke Dewa Wisnu (karena Buddha adalah awatara/inkarnasi Wisnu). 🙂
Garasays:
22 Oktober 2017 at 14:03Setuju, ngapain malu kalau sembahyang di candi, hehe. Tengsin sih iya, tapi ya sudahlah, kalau ditontonin juga anggap saja publisitas gratis. Menurut saya sih sesungguhnya kalau untuk Rp40rb untuk orang yang akan beribadah itu terlalu mahal. Mestinya gratis, hehe. Tapi Borobudur sekarang sudah milik dunia, jadi kita memang harus menghormati. Selama untuk konservasi candi, saya pikir juga nggak ada salahnya, hehe.
Pradaksina di candi itu seru, apalagi kalau ada relief yang bisa dibaca. Lelahnya jadi nggak terasa, hehe…
Lanjutan cerita di Prambanannya ditunggu.
Agung Ranggasays:
22 Oktober 2017 at 14:14Hahaha, belajar kayak jadi publik figur gitu ya bli. 😂
Mungkin kalau saya ke sana bareng rombongan umat yang mau beribadah bisa gratis kali ya. 😅
Nah, dulu pas pertama ke Borobudur, saya sempat tuh melakukan Pradaksina sambil mencoba membaca relief, soalnya waktu itu tidak terlalu ramai. Kalau yang sekarang ini, boro-boro mau membaca relief, buat jalan aja susah, penuh lautan manusia~ 😭
Garasays:
22 Oktober 2017 at 14:20Oh iya, penuh banget. Di setiap sudut pasti penuh orang foto-foto tuh, hehe…
Agung Ranggasays:
22 Oktober 2017 at 14:21Iya begitulah bli, maklum lagi libur panjang.
ikromzainsays:
22 Oktober 2017 at 17:43saya juga introvert mas
tapi gak papa ya namanya ibadah, urusan sama yang di atas kan ya
aku juga seneng klo liat ada yang ibadah di candi mas
daripada terus dibuat selfie kan ya
jepretannya bagus
aku suka
Agung Ranggasays:
22 Oktober 2017 at 19:11Betul juga sih, mungkin karena saya tidak terbiasa di tempat ramai aja.
Terima kasih ya sudah baca. 😀
Artha Amaliasays:
22 Oktober 2017 at 18:46Iyah ngapain malu? Namanya jg sembahyang.
Btw sayang bgt sajennya gak boleh bawa masuk. Tp gak masalah kn walo alat sembahyangnya gak lengkap??
Beruntung bgt loh bs sentuh patung Buddha di dalam stupa berterawang, katanya keinginan bs terkabul. Saya dulu gak nyampe tangannya😂😂 main ajahh sih ke sana…mumpung stay di jogja, naik bus ke magelang
Agung Ranggasays:
22 Oktober 2017 at 19:15Iya, tidak masalah sih kalau sembahyang tanpa sajen. Karena sudah niatnya ingin sembahyang, jadi Tuhan pasti sudah tahu. 🙂
Asik banget pasti ya bisa tinggal di Jogja, banyak tempat wisata bersejarahnya. 😀
Deddy Huangsays:
22 Oktober 2017 at 19:32maksud paket borobudur dan ratu boko itu gmn gung? kan jaraknya pada jauhan itu.
Agung Ranggasays:
22 Oktober 2017 at 19:36Mungkin jadinya kita cuma beli satu tiket untuk 2 tempat sekaligus gitu koh. Jadi lebih hemat harganya. 🙂
Fanny Fristhika Nilasays:
30 Oktober 2017 at 21:39Kayaknya aku udh terlalu lama ga ke borobudur.. Seingetku pas beli tiket ga ngelewatin labirin toki, dan bentuk counter tiketnya ga seperti itu.. Apa skr udh berubah banyak yaaa..
Tiketnya mnrtku mah ga mahal. Utk candi semegah dan sebagus borobudur ini.. Candi di angkor wat, yg sorry ya mas, menurutku agak kusam malah tiketnya sampe ratusan ribu rp.. Okelah tempatnya lbh gede. Tp candinya biasa aja.. Masih jauuh lbh bgs borobudur.
Agung Ranggasays:
30 Oktober 2017 at 21:51Saya pun kaget mbak, soalnya banyak banget yang berubah di sana. 😂
Wah, saya jadi penasaran sama Candi Angkor Wat. Mudah-mudahan nanti bisa ke sana.
Ngepaksays:
4 November 2017 at 01:30apakah sekitar objek wisata candi bororbudur ada tempat penginapan dengan biaya backpacker ?
Agung Ranggasays:
4 November 2017 at 07:00Hmm, kayaknya ada sih. Tapi biaya backpacker itu seberapa ya? 😅
inna rianasays:
7 November 2017 at 11:28kalau ramai jadi nggak nyaman ya
Agung Ranggasays:
7 November 2017 at 11:35Betul bun. 😭
Jefrysays:
9 Juni 2021 at 12:37Mudah2an saya juga bisa sembahyang di borobudur suatu hari nanti
Agung Ranggasays:
9 Juni 2021 at 15:35Semoga terkabul ya mas. 🙏🏻