
Setelah mencoba berbagai cara untuk lepas dari jerat candu media sosial, saya akhirnya memutuskan untuk ambil langkah terakhir, yaitu menonaktifkan media sosial. Menurut saya, cara ini (mungkin) adalah yang terbaik yang bisa saya lakukan demi mengklaim semua sisa waktu yang saya miliki. Tapi mengapa sampai menonaktifkan media sosial?
Tiga Petaka

Susah tidur, sering cemas, hingga banyak pikiran adalah tiga di antara sekian banyak alasan yang bisa saya ungkapkan ketika saya tidak bisa lagi mengendalikan diri saat bermain media sosial. Ada perasaan bersalah ketika menyadari bahwa sebagian besar waktu saya digunakan untuk membuka beberapa aplikasi media sosial secara bergantian pada ponsel pintar saya.
Pertama buka aplikasi Instagram, media sosial favorit saya. Di sana saya bisa melihat berbagai foto dari teman dan keluarga di bagian lini masa, tentunya dengan selingan gangguan iklan di setiap 2-3 foto. Tidak lupa untuk melihat story dari akun yang saya ikuti, menengok kegiatan mereka hari itu. Terakhir dan yang paling menyeramkan adalah membuka tab explore, tempat di mana waktu saya paling banyak terbuang percuma.
Kedua buka aplikasi Facebook, media sosial tempat saya “mengoleksi” teman. Iya, saya akui bahwa saya senang sekali berteman dengan orang-orang yang saya kagumi di Facebook, seperti seniman, komikus, animator, dan beberapa orang terkenal lainnya. Ingat, ini bukan sekedar mengikuti (follow) tapi menjadi teman beneran (friend)! Selain menikmati konten dari teman-teman saya, tidak lupa saya baca tulisan di beberapa grup yang saya ikuti.
Ketiga buka aplikasi Twitter, media sosial tempat saya mendapatkan asupan drama dan komedi. Yap, jika kamu ingin agar hidupmu lebih berwarna, silakan daftar akun Twitter dan ikuti beberapa akun drama dan komedi. Hampir tiap hari ada saja drama yang terjadi di media sosial ini, mulai drama artis, politik, dan masih banyak lagi. Beberapa akun komedi yang sering mencuit meme dan video lucu juga saya ikuti, dan beberapa berhasil membuat saya tertawa terpingkal-pingkal.
Ketiga media sosial itu adalah tiga petaka yang saya buka mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Setiap 5-15 menit sekali selalu saya luangkan waktu untuk beralih dari media sosial satu ke yang lainnya. Sebenarnya saya juga memiliki beberapa akun media sosial lainnya seperti LinkedIn, Pinterest, dan LINE namun saya tidak terlalu aktif di sana. Yang jelas, ketiga media sosial inilah yang menjadi alasan utama saya untuk keluar dari lingkaran setan ini.
Baca juga: Kecanduan Media Sosial
Takut Ketinggalan

Siapa sih yang tidak takut ketinggalan? Hampir semua orang, terutama di generasi saya ke bawah (milenial hingga gen-z) merupakan golongan yang menjunjung tinggi keterkinian. Kami harus tahu apa saja yang sedang terjadi di sekitar kami pada saat ini. Kami sangat suka sesuatu yang baru, dan segera meninggalkan hal lama yang sudah tidak relevan seiring bergantinya hari. Apapun yang kami alami/dapatkan harus segera dibagikan ke publik, agar kami diakui sebagai yang terdepan.
Takut ketinggalan (fear of missing out/FOMO) adalah salah satu penyakit yang saya derita akibat kecanduan media sosial. Gara-gara ini, saya jadi sering merasa cemas, dan selalu bertanya pada diri sendiri “apakah saya ketinggalan?”. Contohnya ketika semua orang mulai membicarakan topik yang sedang tren, seketika saya merasa harus segera mencari tahu segala hal tentang topik tersebut. Hal itu terjadi berulang kali dengan topik-topik yang berbeda.
Bukan hanya itu, takut ketinggalan ini juga membuat saya lebih rajin membuka media sosial. Saya ingin tahu segala hal yang dilakukan oleh orang-orang terdekat saya. Saya ingin tahu segala hal yang terjadi di sekitar saya. Sampai saya ingin tahu segala hal yang bahkan tidak berhubungan langsung atau membawa manfaat bagi kehidupan saya. Pokoknya saya ingin tahu semuanya, titik! Ya, rasa haus akan keingintahuan ini kadang membuat saya pusing sendiri.
Pameran untuk Sang Iri

Sebenarnya apa sih tujuan membuat akun media sosial? Saat pertama kali berkenalan dengan media sosial, tentu tujuan saya adalah untuk menjaga silaturahmi dengan kerabat, teman, dan keluarga. Rasanya senang sekali bisa berinteraksi dengan mereka yang berlokasi jauh dari saya, atau mereka yang lama tidak saya temui. Seru saja ketika melihat kawan lama sudah sukses atau keluarga jauh yang bahagia dengan kehidupannya.
Namun, semakin ke sini saya tersadar akan sesuatu. Saya merasa tujuan dari memiliki akun media sosial sudah berubah, yaitu sebagai tempat “pameran untuk sang iri”. Pada dasarnya, saya mengelompokkan pengguna media sosial menjadi dua, yaitu “si pamer” dan “si iri”. Si pamer ini adalah orang yang tanpa sadar sedang memamerkan kehidupannya, kegiatannya, sesuatu yang dimiliki, atau hal lainnya pada publik. Sementara si iri adalah orang yang tanpa sadar selalu merasa iri pada orang-orang seperti si pamer.
Kenapa saya tulis “tanpa sadar”? Yaa, karena saya selalu merasa tidak seperti itu. Saya merasa bahwa saya tidak pamer tuh ketika saya mengunggah foto saya lagi liburan, atau ketika menunggah foto sesuatu yang baru saja saya beli. Saya juga tidak merasa iri tuh ketika saya melihat teman saya mengunggah foto saat ia sedang bersenang-senang dengan teman-temannya, atau ketika kerabat saya mengunggah foto saat ia membeli sesuatu yang sudah saya inginkan sejak lama. Terdengar menyedihkan ya? Itulah yang namanya penyangkalan (denial).
Ada kalanya saya menjadi si pamer, namun ada kalanya saya menjadi si iri. Hal itu akan menjadi semakin rumit apabila saya memerankan si pamer dan si iri secara bersamaan. Misalnya ketika saya selesai pamer sesuatu di media sosial, saya langsung merasa iri pada orang lain ketika tahu bahwa apa yang saya pamerkan tidak seberapa dibanding yang orang lain pamerkan! Ahahaha, betapa bodohnya saya saat itu.
Baca juga: Drama Media Sosial, Benci Tapi Suka
Semi-Kalkun Dingin

Tadi sudah saya ceritakan beberapa alasan mengapa saya sangat benci (tapi suka) dengan media sosial. Mulai dari tiga petaka yang selalu menggoda saya, rasa takut akan ketinggalan sesuatu, hingga bagaimana media sosial menjadi ruang pameran untuk sang iri. Beberapa kali saya mencoba untuk lepas dari hal-hal itu dengan berbagai cara, mulai dari yang sederhana sampai yang ekstrem.
Awal ketika saya ingin lepas dari media sosial adalah dengan membatasi penggunaannya. Inginnya sih cukup gunakan media sosial tidak lebih dari 1 jam selama sehari. Saya mulai atur pembatasan waktu layar (screen time) pada ponsel pintar saya, sekedar untuk mengingatkan kalau-kalau nanti kebablasan waktu main media sosial. Namun cara pertama ini gagal, saya selalu mengakalinya agar bisa membuka media sosial lebih lama.
Cara berikutnya adalah dengan menghapus aplikasi media sosial yang terpasang di ponsel pintar saya. Rencananya saya hanya akan memasangnya kembali saat akhir pekan saja, jadi pada saat hari kerja, saya bisa fokus dengan apa yang saya kerjakan tanpa terganggu dengan media sosial. Sekali lagi, cara ini gagal juga. Belum sampai sehari saya hapus aplikasinya, saya langsung mengunduhnya lagi.
Oke, kali ini tidak mau pakai aplikasi! Saya putuskan untuk tidak akan memasang aplikasi media sosial lagi di ponsel pintar saya. Sebagai gantinya, ketika ingin membuka media sosial, saya hanya bisa melakukannya di peramban (browser) di laptop. Dengan begini tentu mengakses media sosial jadi semakin sulit, bukan? Tidak juga, saya dengan mudahnya mengakses media sosial lewat peramban di ponsel pintar saya tanpa perlu repot menggunakan laptop.
Baiklah, saya menyerah! Satu-satunya jalan untuk keluar dari jeratan candu media sosial ini adalah menggunakan metode kalkun dingin (cold turkey). Metode ini biasanya digunakan pada orang yang memiliki kecanduan akut seperti pecandu rokok atau pecandu psikotropika. Dengan metode ini, semua sumber candu akan “dipaksa” untuk dihentikan/dijauhkan/diputuskan selamanya.
Bagaimana untuk “pecandu” media sosial seperti saya? Yaa, kalau menerapkan metode kalkun dingin ini sih, artinya saya harus menghapus akun secara permanen. Namun, dalam hati kecil saya, saya masih merasa takut apabila saya kehilangan akun media sosial yang telah saya pakai selama bertahun-tahun. Maka dari itu, saya menerapkan cara semi-kalkun dingin, yaitu hanya dengan menonaktifkannya (deactivate).
Pada tanggal 19 Januari 2021 kemarin, saya resmi menonaktifkan semua akun media sosial yang saya miliki, mulai dari Facebook, Instagram, Twitter, dan LinkedIn. Yang saya ketahui, akun Facebook, Instagram dan LinkedIn yang dinonaktifkan masih bisa diaktifkan kembali dengan cara masuk ke akunnya lagi. Sementara akun Twitter yang dinonaktifkan lebih dari 30 hari akan dihapus secara permanen. Walau sudah tahu konsekuensinya, saya tetap melakukannya tanpa pikir panjang lagi.
Ya, kini saya resmi tidak memakai akun media sosial apapun. Jadi, untuk kamu yang membaca tulisan ini, jika ingin menghubungi saya secara personal, silakan kirim pesan di halaman Kontak. Sekarang saya sudah merasa sedikit lebih tenang, sedikit lebih lega. Kita lihat saja, seberapa lama saya bisa mengklaim waktu yang seharusnya bermanfaat untuk kehidupan saya, saat saya tidak berada di media sosial.
Salam,
Agung Rangga
Comments (12)
alrisblogsays:
26 Januari 2021 at 22:05Saya sudah menonaktifkan facebook. IG saya gak punya, twitter gak punya. Medsos saya sekarang hanya tinggal blog.
HP aja kalau hari minggu saya non aktifkan sampai pukul dua atau pukul tiga.
Sehat selalu, Gung.
Agung Ranggasays:
5 Februari 2021 at 16:32Sehat juga ya pak. 🙏🏻
Riza Firlisays:
11 Februari 2021 at 16:16Kayaknya agak susah sih buat saya untuk menonaktifkan media sosial
untungnya saya udah bisa membatasi diri untuk gk buka social media terutama instagram apabila sedang gk ngapa2in.
maximal menggunakan socmed 1-2 jam, bahkan sudah seperlunya saja.
Agung Ranggasays:
14 Mei 2021 at 19:45Betul, sebaiknya dibatasi saja. 😊
Iqbalsays:
14 Maret 2021 at 15:34“Jika ingin menghubungi saya secara personal, silakan kirim pesan di halaman Kontak” — saya suka kalimat ini, pilihan untuk mengontak terpusat di satu tempat, selain itu juga meningkatkan posisi penting blog ini. Orang yang mau ngontak mesti tahu alamat blog agungrangga.com ini.
Saya pernah nyoba deaktivasi akun FB, tapi hanya bertahan sebulan karena ada alasan yang bikin saya stay di FB:
1. Saya suka lupa nama teman-teman yang ga terlalu akrab (misal teman SMA yang sekadar kenal tapi ga pernah sekelas, ga pernah aktivitas atau main bareng) tapi mereka ingat nama saya >_< nah, di FB saya jadi selalu ingat nama-nama mereka, jadi pernah pas lagi di RS ada orang yang negor, tapi saya lupa namanya, akhirnya diam-diam saya cek FB dan ketemu. 😀
2. Satu-satunya sarana saya terkoneksi dengan teman-teman dekat yang mereka itu sesekali ganti nomor. Atau hal semacam ganti hape lalu nomor2nya ga keangkut.
3. Banyak foto kenangan. Ini dalam proses saya copy yang paling berkesan ke blog saya.
Saya sepakat kalau kebanyak medsos itu ngga baik buat ketenangan hati. Yang saya bisa lakukan untuk FB paling hanya menjarangkan buka, ngga tiap hari buka kaya sebelumnya. Dan ternyata manfaatnya kerasa, jadi lebih tenang.
Nah semisal mas Agung ini punya permasalahan yang sama dengan saya no 1-3 tadi saran saya jangan hapus akun FB nya, cukup dijarangin aja bukanya.
Agung Ranggasays:
14 Mei 2021 at 19:54Terima kasih sudah berbagi pengalaman mas. 😊
Fanny_dcatqueensays:
3 Juni 2021 at 21:59Eh Twitter kalo lebih dr 30 tidak aktif akan dihapus permanent? Soalnya aku udh 2 tahunan ga aktif Twitter, tp akhir THN kemarin sempet buka, msh ada sih mas. Apa random dihapusnya yaaa.
Btw, kalo bener2 off dr sosmed, jujur aku ga bisa. Ini hiburan sih :D. Tapi aku ngelakuin detoks sosmed sesekali. Biasanya 2 Minggu aja. Ntr ditambah durasinya. JD selama detoks, sosmed kayak ig dan FB aku uninstall. JD beneran ga bisa buka. Kan hrs effort lagi kalo mau buka. Biasanya alasanku detox Krn jenuh sih. Makanya ngerasa perlu refresh pikiran dr hal2 yg terkait sosmed.
Agung Ranggasays:
6 Juni 2021 at 08:20Nah, kayaknya random sih mbak.
Wah, bisa dicoba tuh tips detoksnya. 😀
Asep CAsh Ballsays:
29 Desember 2021 at 19:35Wah bener banget nih, kadang kalo gak buka sosmed bingung banget aku tuh, soalnya aku nolep sih, seharian buka sosmed, buat nyari2 bahan konten, kadang bisa buat ide2 juga, kadang nyandu buat ngumpulin bahasa2 anak2 sekarang gitu, ya biarin umur dah 32 tahun, gue masih pengen disebut anak muda sih, jadi banyak berteman dengan anak2 kuliahan, atau sekolahan di FB. Terus ngerasa muda aja gitu ngobrol ama mereka, pake bahasa mereka, jadi berasa muda lagi deh.
Fb gue pake buat liat2 temen2, sekarang malah udah unfriend temen2, dari mulai temen: bisnis, kerjaan, sampe kesanak sekeluarga juga gue remove friend sih, jadi pure 0 aja temennya, terus confirm2 follower, terus malah kenalan ama orang2 baru teh, eh awalnya pengennya FBnya biar gak bosen gitu, sosmedan, malah ketemu temen art sama font, jadi mulai ngefont lagi deh, belajar buat bikin font gitu, sampe akhirnya font aku yang dah 18 bulan ni dibangun gitu, gak selesei2, gara2 kebanyakan ol, sama gak bisa menuhin deadline, gue jadi keseringan liat hal2 yang gak penting, dari video2 singkat di Fb, drama2 yang sebenernya gak penting kaya drama artis di sinetron, atau informasi seputar font di grup Belfont, gue butuh banget sih buat belajar bikin font lebih baik lagi.
Sekarang baru sadar, kalo facebook itu buang waktu, apalagi pas baca tulisan lo, kerasa banget dah gue dah buang waktu gue, kerasa banget euy tulisannya, keren lo nulis. Terus dah 1 bulan ini gak ada tuh yang ilang, dari gue ngeremove2 temen2 fb teh, padahal temen2 kan udah diganti jadi temen baru semua ya, yang ada timeline teh jadi beda aja gitu, orang2nya baru, gaya bahasanya baru, penyampaiannya sedikit berbeda, ama beberapa hal yang dulu ilang, kaya dulu kan buat2 artwork vector gitu ya, eh malah sekarang anak2 baru pada bagus2 gitu, pengen deh upload karya vector, jadi lebih nagih pengen buat artwork, eh malah font kaga diberes2in. Tapi untungnya dah bisa nahan diri, biar gak jadi Si Pamer. Malah sekarang lagi jadi Si Iri.
Gitu aje sih soal sosmed mah, soal IG gue jarang make sih, paling cek label rekaman indie, ama cek2 musik2nya yang dia kasih, terus cek cewe cakep doang, sama dah jarang belajar soal investasi di IG, terus twitter dah deaktif dari 2014, kalo buat deviantart dah dari 2014 juga, terus youtube, nyadu dah sering buang waktu buat nontonin anime, jejepangan, atau font disana, kalo font kan kerjaan ya, jadi nambah wawasan, sisanya sih buang waktu sih, tapi hiburan juga sih, kadang ngehibur diri aja dari kesendirian gitu. Terus apalagi ya yang dideaktif teh, em, mungkin myspace, soundcloud, tapi blog wordpress lanjut sih, soalnya kalo gak nulis gue ngerasa gak waras aja, gak ada yang dihasilin kalo gak nulis sih, jadi diabadiin di blog gue, soal banyak hal, acak sih, tapi gak penting2 amat, terus emang gak mau berbagi cerita di FB sih, gara2 satu dan lain hal, pengennya berbagi cerita di WordPress aje sih.
Jadi kesimpulannya, hiburan atau kerjaan ya dinikmatin aje, soal gangguan kaya butuh sosmed sih, kurangin aje jam tayangnye, terus bisa dijadiin data tuh sosmed, sumber inspirasi buat nulis, atau nambah2 kosakata, bisa nambah temen juga, nambah2 referesni, tapi kalo kebanyakan mah ya tetep aje pusing, sama kaya lo bilang Om. Terus kalo boleh sih, perbanyak hal2 yang menarik dari sosmed bikin gue hidup, soalnya gue seharian di rumah, seharian di dalem garasi, ngerjain font, sambil sesekali ngobrol sama orang gak dikenal di Facebook, jadi gue berasa punya temen, ma idup layak kaya dulu, waktu zaman2 kuliah DKV atau kerja di Toko, jadi sekarang sosmed penting atau enggak ya balik lagi ke kitanya sih, mau gak buang waktu atau jadi ketagihan sama sosmed? Mau gak diperbudak jadi Si Pamer atau jadi Si Iri? Mau gak nerima drama2 yang ada? Mau gak idup habis didepan media sosial, pegan hape, atau depan laptop?…
Yang pasti, jadi di sendiri aja, sekiranya dah gak penting ya tinggalin, kalo masih butuh, atau siap dengan konsekuensi ya pake aja dulu, entar juga lupa kalo ama kerjaan mah, soalnya kerja itu nomer satu, sisanya mah hiburan aje sih sosmed mah, jangan terlalu serius.
Agung Ranggasays:
31 Desember 2021 at 11:30Terima kasih mas sudah berbagi pengalamannya. 🙂
Tafhajilssays:
2 Februari 2023 at 22:00Bener banget bang,, ini yang saya alami, kadang kalau ngga buka sosmed bingung mau ngapain lagi,,,
Agung Ranggasays:
19 Mei 2023 at 09:36Bisa melakukan hal lain juga sih. 😅