
Perjalanan – Tak terasa, pukul 17:00 WITA pesawat sudah mendarat dengan selamat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Begitu turun dari pesawat, suasana Bali pun langsung terasa. Saya sudah dijemput oleh adik dan sepupu-sepupu saya dengan menggunakan mobil. Dan kami langsung berangkat menuju Desa Padangaji, tempat semuanya berkumpul.
– lanjutan dari: Pulang ke Bali: Berangkat! –
Beristirahat di Kampung
Sebelum ke Kubu (tempat dimana rumah nenek berada, tepatnya di tengah-tengah hutan bambu), kami mampir dulu ke Sidemen, mau nganterin pacarnya Bli Gusde yang ikut menjemput saya ke bandara. Kami sampai di Kubu sekitar pukul 20:00, dan kedatangan saya pun langsung disambut oleh keluarga besar yang berada di sana.
Wuaaah, seru banget deh kalau sudah berkumpul dengan keluarga besar di kampung! Banyak banget saudara sepupu, paman, bibi, dan yang lainnya, berkumpul bersama di Kubu. Oh iya, kali ini saya menginap di rumahnya Aji Putu (adik bungsu dari keluarga bapak saya). Karena rumahnya baru selesai dibangun, jadi kelihatannya masih rapi.

Eh, baru sampai di kamar, udah langsung diajak foto-foto sama yang lain. Hahha, ya udah deh, saya keluarkan ponsel baru saya aja, Samsung Galaxy Grand Prime. Ehehehe, saya sengaja menghabiskan uang beasiswa saya untuk membeli ponsel ini sebelum pulang ke Bali, supaya bisa selfie rame-rame dengan kamera depannya yang 5 MP! (lho, malah promosi~)
Berdoa Untuk Kakek
Setelah selfie, saya langsung mandi. Untunglah di rumah Aji Putu kamar mandinya ada di dalam, jadi airnya tidak sedingin seperti di kamar mandi luar yang ada di rumah nenek. Lalu saya disuruh sama Uwak untuk sembahyang di semacam bale-bale yang berisi berbagai macam sesajen sebagai persembahan untuk kakek.
Saya pun mendoakan agar arwah kakek diterima di sisi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, serta diampuni segala karma buruknya selama di dunia. Juga berharap agar upacara ngaben yang akan dilaksanakan nanti, bisa berjalan dengan lancar tanpa ada kendala apapun.
Selesai berdoa, kami langsung megibungan! Oh, buat yang belum tahu, ‘megibungan’ merupakan salah satu adat masyarakat Bali dimana ada beberapa orang yang makan bersama di sebuah tampah besar! Jadi, saya dan saudara-saudara sepupu makan dengan mengelilingi tampah, yang ditengahnya berisi nasi, sate, daging dan sayur. Ahahaha, yang begini nih yang paling saya rindukan, kebersamaan!
Selesai makan, saya pun ngobrol-ngobrol dengan semuanya hingga kami semua lelah dan mulai beranjak tidur. Kata mama, besok merupakan hari yang seru, soalnya bakal banyak banget tamu dari desa yang akan datang ke Kubu. Wuiiih, jadi gak sabar!
Mencabut Bulu Ayam

Besoknya (25/12), semua orang di Kubu sudah bersiap-siap dari pagi. Setelah cuci muka, saya langsung disuguhi segelas teh hangat dan jaje bantal (kue dari ketan berisi pisang yang dibungkus daun janur, dibentuk menyerupai bantal dan dimasak dengan cara dikukus) untuk sarapan. Menikmati sarapan kali ini sangat istimewa, karena udara pagi di Kubu yang bersih dan bebas polusi (ya iyalah, wong di tengah hutan) menambah kesegaran suasana.

Tak lama, saya dipanggil oleh Bli Gusde (anak dari Bibi Payuh, kakak dari bapak saya), disuruh bantuin mengerjakan sesuatu. Tebak apa? Mencabuti bulu ayam!!! Wuaaaah~ Jadi, saya harus mencabuti bulu-bulu ayam yang sudah direbus. Gak sendirian sih, bareng Bli Gusde dan Gunggus (anak dari Aji Made, kakak sulung bapak saya). Dan kebetulan juga ayamnya ada 3 ekor~
Setelah ayamnya bersih, saya pun segera mandi dan berpakaian rapi, karena akan menyambut tamu. Ya, tak lama kemudian, tamu-tamu pun berdatangan. Seperti kata mama, hari ini tamu yang datang adalah yang berasal dari desa Padangaji.
Butuh Biaya Besar

Saya baru tahu, kalau sebelum upacara ngaben, banyak sekali tamu yang menjenguk keluarga yang punya hajat. Para tamu membawa sebuah ‘kado’ (bukan yang dibungkus pakai kertas kado, hanya istilah doang kok) yang berisi berbagai kebutuhan pokok seperti beras, kopi, gula, atau kain. Kemudian, semua barang itu diberikan kepada keluarga yang punya hajat, mungkin sebagai bentuk lain dari belasungkawa.

Kemudian, tamu yang telah datang akan dijamu dengan makanan-makanan khas Bali, yang dipersiapkan khusus layaknya prasmanan dari keluarga yang punya hajat. Dan kamu tahu, karena tamu yang datang banyak, maka makanan yang harus disiapkan juga banyak.

Bahkan kata Bapak saya, kemarin-kemarin tuh sudah ada kurang lebih 9 ekor babi berukuran besar yang dipotong untuk dijadikan makanan ini. Dan semua hal ini pun menjawab sebagian kecil dari pertanyaan saya mengenai “mengapa upacara ngaben membutuhkan biaya yang besar?“.
Menyambut Tamu

Nah, kali ini, saya bersama Dewi (adik saya) dan saudara sepupu yang lain kebagian tugas menyambut tamu. Jadi, setiap tamu yang datang membawa kado, akan ditandai dengan stiker berisi nomor, agar wadah kadonya tidak tertukar dengan milik tamu yang lain. Nah, agar tidak repot harus membawa kado ke tempat penyimpanan, maka tugas saya dan sepupu laki-laki lah untuk membawa kado-kado ini. Lumayan, bolak-balik naruh kado, sekalian olahraga ringan~

Setelah para tamu selesai makan, barulah mereka mengambil wadah kadonya, sesuai dengan nomor yang mereka punya. Semakin siang, semakin banyak tamu yang datang. Oh iya, akses ke Kubu sendiri yang terletak di tengah hutan bambu, mengharuskan para tamu berjalan kaki dari lahan parkir yang terletak di lapangan sekolah dasar dekat Kubu. Yaaah, sekitar 15 menitan lah~
Dulu sih jalanan ke kubu hanya berupa tanah setapak menurun dan menanjak yang akan sangat licin bila sehabis hujan. Tapi sekarang jalanannya sudah bagus, karena telah diaspal, walaupun pohon-pohon bambu masih banyak di sekitar jalannya. Setidaknya, lebih mudah untuk pergi bolak-balik dari Kubu ke desa.
Sore harinya, para tamu mulai meninggalkan Kubu, tentunya setelah berpamitan kepada keluarga kami. Dan setelah beres-beres, kami pun istirahat, sebelum menuju acara puncak dari semua kegiatan selama seminggu di kampung. Yap, apalagi kalau upacara pembakaran jenazah, ngaben.
– bersambung ke: Pulang ke Bali: Mengiring Kakek –
Salam – Agung Rangga
Comments (18)
MSsays:
1 Februari 2015 at 16:01sebelumnya ikut berduka cita atas wafatnya kakek ya Gung
menarik ikutin proses sebelum upacara ngabennya sendiri, jadi tau istilah2 baru di adat Bali
Agung Ranggasays:
1 Februari 2015 at 16:49terima kasih bun. 🙂
senang sekali kalau tulisan saya bisa menambah wawasan bunda monda. 😀
Mechtasays:
1 Februari 2015 at 17:02Agung, turut berduka untuk wafatnya kakek ya… Saya baru tahu tata cara ngaben niih… terima kasih yaa… oya, kedatangan tamu membawa sesuatuuntuk meringankan keluarga yang sedang berduka, itu sama juga adat kebiasaan di daerah kami… indahnya silaturahmi…
Agung Ranggasays:
1 Februari 2015 at 17:19terima kasih mbak. 🙂
benar, silaturahmi membuat semua menjadi lebih indah. 😀
Alid Abdulsays:
1 Februari 2015 at 17:11Sebelumnya turut berduka cita atas meninggalnya kakek tercinta…
Jujur saya ingin sekali menyaksikan dengan mata kepala sendiri upacara Ngaben. Betewe setahu saya memang butuh biaya besar, makanya kadang upacara Ngaben dilakukan sekalian dengan beberapa keluarga yg sudah meninggal. Benarkah demikian?
Agung Ranggasays:
1 Februari 2015 at 17:25terima kasih mas. 🙂
wah, semoga kesampaian ya impiannya.
Dan, yap, tepat sekali! Upacara ngaben kakek saya ini juga bareng dengan 6 keluarga lainnya, sehingga biaya yang dikeluarkan jadi lebih ringan. 😀
nanti akan saya ceritakan di tulisan berikutnya. 😉
andriansays:
1 Februari 2015 at 18:55Turut berduka cita ya
Agung Ranggasays:
1 Februari 2015 at 21:32terima kasih. 🙂
MasMimowsays:
1 Februari 2015 at 21:01Turut berduka… tapi kisah nya keren sumpah…
Agung Ranggasays:
1 Februari 2015 at 21:32terima kasih. 🙂
Farissays:
1 Februari 2015 at 21:15Turut berduka cita ya mas atas meninggalnya kakek nya mas. 🙁
Salam kenal dahulu mas dari saya, hehe
Saya belum kenal banget tentang adat bali, jadi cuma dapat gambaran kecil dari tulisan ini tentang adat disana. hehe
Agung Ranggasays:
1 Februari 2015 at 21:33terima kasih Faris. salam kenal juga ya. 🙂
wah, senang bisa menambah wawasanmu tentang Bali. 😀
Lidyasays:
1 Februari 2015 at 21:22Turut berduka ya.Acara ngaben meriah juga ternyata ya tapi pastinya tidak mengurangi rasa khidmat acaranya. Ditunggu kelanjutan ceritanya au penasaran dengan ngaben.
Agung Ranggasays:
1 Februari 2015 at 21:34benar bun, saya pun baru pertama kali terjun langsung dalam upacara sebesar ini. 🙂
Zulham Efendisays:
3 Februari 2015 at 19:12upacara ngaben sudah menjadi tradisi tersendiri bagi bangsa ini umumnya dan bali khususnya
Agung Ranggasays:
4 Februari 2015 at 19:16benar sekali. 🙂
ceritabudisays:
4 Februari 2015 at 06:58Aissss wenten upacara ngaben to? mehhhh,,, ten ngabarin niki..Dumugi sang lampus prasida amor ring acintya..mampir ke Jembrana Gung
Agung Ranggasays:
4 Februari 2015 at 19:17ehehe, maaf ya bli, lupa mau mengabarkan… 😳
matur sukseme. 🙂
semoga kalau ke Bali lagi bisa mampir ke Jembrana. 😀