
Sore harinya, para tamu mulai meninggalkan Kubu, tentunya setelah berpamitan kepada keluarga kami. Dan setelah beres-beres, kami pun istirahat, sebelum menuju acara puncak dari semua kegiatan selama seminggu di kampung. Yap, apalagi kalau bukan upacara pembakaran jenazah, ngaben.
Lanjutan dari: Pulang ke Bali: Pelayan Tamu
Mengecek Wadah

Pagi yang cerah dan sejuk (26/12) membuat saya sangat bersemangat hari itu. Setelah mandi dan berpakaian rapi, saya diberi kabar kalau wadah untuk menyimpan jenazah kakek sudah datang. Wadah tersebut diletakkan di pertigaan jalan utama desa.

Wadah ini berbentuk seperti Padmasana, dan berfungsi sebagai tempat menaruh jenazah untuk dibawa ke kuburan. Ada 2 wadah, satu berukuran besar dan satu lagi berukuran kecil. Kedua wadah ini bentuknya sangat indah, dan terdapat foto almarhum kakek di atas wadah yang besar.
Setelah puas melihat wadah, saya kembali berjalan ke kubu. Oh, bapak saya juga bilang kalau jenazah kakek sudah dibawa kembali ke kubu. Ya, tadinya kan kakek dikubur di pemakaman desa, jadi sekarang jenazahnya (yang sudah berupa tulang belulang) diangkat, dibersihkan, dan ditaruh di bale-bale. Sebelum nantinya diangkut menggunakan wadah untuk dibakar.
Nama yang Harum

Setelah itu, kami semua bersiap-siap. Seperti biasa, saya harus kembali menjadi pelayan tamu lagi. Karena ini hari-h dari puncak perayaan, maka tamu yang datang lebih banyak lagi! Dan kali ini, tamu yang berdatangan adalah yang berasal dari luar Desa Padangaji.
Seperti kata bapak saya, almarhum kakek merupakan orang yang sangat baik kepada siapa saja. Bapak pernah cerita, dulu, kakek sangat hobi menanam tanaman bumbu dapur seperti jahe, kunyit, dan sebagainya. Nah, ternyata tanaman ini tidak untuk dikonsumsi sendiri oleh keluarganya.
Melainkan, tanaman ini akan kakek berikan pada saudara, tetangga, atau kawan kakek yang membutuhkannya. Misal, ada tetangga yang akan mengadakan acara besar seperti upacara pernikahan, nah, kakek sudah jauh-jauh hari menyiapkan bumbu-bumbu masak untuk diberikan pada tetangganya itu!
Tak heran kalau nama kakek sudah terkenal di masyarakat, baik di dalam maupun di luar desa. Beliau sebegitu niatnya membantu orang lain, tanpa pamrih. Andai saja saya bisa seperti beliau, hehehe~
Cucu Tertua

Sekitar pukul 9:00 WITA, Bli Gusde memanggil para cucu kakek untuk berkumpul. Total cucu dari mendiang kakek adalah 15 orang! Kami berkumpul untuk mengadakan sesi foto bersama, sebagai kenang-kenangan katanya. Dan setelah pindah-pindah lokasi foto (karena matahari lagi terik-teriknya waktu itu), akhirnya berhasil deh nangkap foto yang bagus.

Jam 10:30, pas selesai berfoto-foto ria bersama saudara lainnya, saya tiba-tiba dipanggil oleh uwak. Saya disuruh ke depan bale-bale kakek dan dipakaikan kain putih di pinggang dan di kepala oleh Niang Lemon (ibu dari Bibi Ade, istrinya Aji Mang, saudaranya bapak).
Ternyata bukan saya saja, Mbok GungGek (anaknya Aji Made, saudara bapak) juga dipakaikan kain putih. Lalu saya diberitahu oleh uwak, kalau dua cucu tertua kakek (saya dan mbok GungGek) akan “menuntun” kakek pas upacara ngaben hari ini. Ritual ini disebut “mameras”.
“Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.” – Wikipedia

Jadi begini, saya dan Mbok GungGek (serta 1 perwakilan dari keluarga yang lain) bertugas membawa banten (sajen) yang telah diikat oleh benang satu sama lain. Mbok Gunggek membawa sesisir pisang, saya membawa batang tebu yang diikat dengan batang bambu, sedangkan yang satunya bawa banten (entah berisi apa). Semuanya pun bersiap-siap menuju ke tempat upacara ngabennya. Namun, tiba-tiba cuaca berubah yang tadinya terik, menjadi hujan lebat!
Di Bawah Guyuran Hujan
Kami pun menunggu sebentar sampai jam 12:00, namun karena hujan belum berhenti, maka Niang Lemon menginstruksikan agar acaranya dilanjutkan saja. Ya, semua langsung berbaris di bawah guyuran hujan. Yang pertama berangkat adalah rombongan saya (cucu-cucu kakek), kami harus berjalan hati-hati, agar bantennya gak sampai jatuh dan benangnya gak sampai putus. Kami bertiga masing-masing didampingi 2 orang yang menjaga kanan-kiri kami dengan memegang lengan kami. Lengan kanan saya dijaga oleh Niang Lemon, sementara yang kiri lupa sama siapa (ibu-ibu juga).
Kata Niang Lemon, selama berjalan nanti, kami gak boleh lirik kanan, kiri ataupun belakang, pokoknya harus terus menghadap ke depan. Juga tidak boleh berhenti di tengah-tengah, apapun yang terjadi! Dan kenapa sampai 2 orang yang menjaga? Agar kami tidak jatuh di tengah-tengah perjalanan! Iya, soalnya banten yang kami bawa itu tiba-tiba terasa berat, dan, entahlah, seperti ada “sesuatu yang lain”.
Karena jalannya lambat sekali, kami diteriaki agar lebih capat sedikit jalannya (waktu itu baru sampai depan pekarangan kakek, baru beberapa meter dari rumah kakek). Eeeh, kan kalau cepat-cepat gitu bahaya, mana jalanan licin akibat hujan lagi (plus mata saya kelilipan oleh air hujan yang jatuhnya besar-besar). Dan benar saja, tiba-tiba dari arah belakang terdengar gemuruh orang-orang yang lari sambil teriak-teriak!
Kata Niang Lemon, mereka membawa jenazah kakek dan jenazah lainnya yang sudah dibungkus oleh kain batik. Ada 7 jenazah yang diangkut untuk ditempatkan di wadah yang tadi pagi saya lihat. Gak cuma laki-laki, perempuan dan ibu-ibu juga ikut menggotong jenazah sambil lari dan teriak. SERU BANGET!
Menuju Tempat Utama
Kami bertiga pun akhirnya sampai di pertigaan jalan desa, dan jenazah sudah siap di wadah. Inilah bagian paling seru, kami harus berlari di tengah hujan deras, sejauh sekitar 10-20 KM dengan jalan yang menanjak, menurun, serta meliuk-liuk! Semuanya menyuruh kami untuk lari lebih cepat, karena… WADAH BESAR DI BELAKANG KAMI JUGA IKUT LARI!!! Ya, 2 wadah tersebut dibawa dengan cara di gotong, yang ukuran besar oleh bapak-bapak dan pemuda (sekitar 50-an orang), dan yang kecil oleh remaja dan anak-anak (sekitar 20-an orang).
Kata Niang Lemon, kami harus sampai lebih dulu dibanding yang lainnya, terutama wadah itu! Dengan langkah yang cepat namun tetap hati-hati, kami berlari di depan. Di belakang kami ada beberapa ibu-ibu yang membawa banyak banten, juga orang-orang yang ingin ikut pergi ke tempat pembakaran. Lalu disusul oleh 2 wadah yang digotong dengan semangat juga teriakan, dan paling belakang adalah tim musik Baleganjur (gamelan gong khas bali) yang tidak kalah mengalunkan musik ceria khas Bali.
Semua bergerak menuju tempat acara puncak, berjalan menerjang hujan yang makin lama malah makin deras. Suara hujan yang kencang itu terdengar sayup-sayup di telinga saya, ditelan oleh gemuruh teriakan orang-orang yang mengiring kepergian kakek dengan penuh suka cita, juga alunan musik Baleganjur yang bertabuh penuh semangat.
Bersambung ke: Pulang ke Bali: Upacara Ngaben
Salam,
Agung Rangga
#trivia : Menurut Wikipedia, istilah Baleganjur berasal dari kata Bala dan Ganjur. Bala berarti pasukan atau barisan, Ganjur berarti berjalan. Balaganjur yang kemudian menjadi Baleganjur yaitu suatu pasukan atau barisan yang sedang berjalan, yang kini pengertiannya lebih berhubungan dengan sebuah barungan gamelan Bali. Apa kamu pernah mendengar musik Baleganjur?
Comments (10)
zilkosays:
23 Juli 2015 at 19:42Wah, tradisinya memang nampak “Bali banget” ya 🙂
Agung Ranggasays:
23 Juli 2015 at 19:53iya, begitulah kak~
ngaben memang tradisi yang masih dilestarikan di Bali. 🙂
Garasays:
23 Juli 2015 at 20:31Oh, saya juga sudah pernah ikut memeras! Tapi bukan buat kakek, melainkan buat kumpi. It’s unexplainable tapi saat saya bawa tombak itu, kayaknya semua suara di telinga ini riuh rendah dan saya bingung kecuali satu orang yang sedang menggandeng saya (keluarga) memberi tahu ke mana saya harus berjalan. Setelah selesai, saya mesti digandeng lagi untuk pulang karena katanya saya linglung barang beberapa saat, bengong terus :haha.
Tapi ngaben memang seru banget! Acara orang meninggal tapi malah dirayakan dengan sangat meriah dengan gong paling semangat yang pernah saya dengar! Btw, Padangaji itu di kabupaten mana? Nama desanya belum pernah saya tahu sebelumnya :hehe.
Agung Ranggasays:
23 Juli 2015 at 21:14wuaaah, pernah juga ya bli~ 😀
iya, saya juga ngerasa begitu, pikiran saya jadi terasa kosong saat berjalan. 😆
dan, yap, ngaben benar-benar acara yang…tak bisa diucapkan dengan kata-kata~ (halah~)
desa Padangaji ini terletak di kecamatan Selat, kabupaten Karangasem. 🙂
Garasays:
23 Juli 2015 at 21:29Oooh, Selat… sip, sip :)).
Orinsays:
24 Juli 2015 at 15:39Agung bisa menjadi seperti kakek kok 🙂
Agung Ranggasays:
25 Juli 2015 at 06:05semoga saja ya teh.
winnymarchsays:
26 Juli 2015 at 00:38agung asli bali ya? soalnya bali banget 😀
Agung Ranggasays:
26 Juli 2015 at 10:18iya mbak, saya asli Bali. 🙂
winnymarchsays:
26 Juli 2015 at 22:31keren