
Upacara ngeroras telah selesai dilaksanakan selama lima hari di kampung saya (desa Padangaji, Karangasem, Bali) pada tahun 2015 kemarin. Setelah itu, saya dan keluarga berniat untuk melaksanakan tirtayatra ke beberapa pura di Bali. Kegiatan ini kami lakukan seharian, sebelum nantinya kembali ke Bekasi.
Pagi itu (25 September 2015), setelah selesai mengemasi barang bawaan, kami sembahyang dulu di merajan (pura kecil di halaman rumah) kakek di kubu. Setelah sarapan, keluarga saya (Bapak, Mama, saya, Dewi dan Arya) pamit dengan keluarga di kubu. Rencananya, hari itu kami mau menginap dulu di kostnya Dewi di Singaraja, sebelum besok terbang ke Jakarta.
Dalam perjalanan menuju ke Singaraja, kami sekalian melaksanakan tirtayatra atau sembahyang ke beberapa pura sekaligus. Kami diantar oleh Bli Gusde (sepupu saya) dengan mobilnya. Karena mau sembahyang, Mama sudah membuat beberapa sajen untuk dipersembahkan ke pura yang akan kami kunjungi.
Pura Manik Gumawang
Pura pertama yang kami kunjungi adalah Pura Manik Gumawang. Pura ini terletak di Desa Menanga, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Dikutip dari Bali Dwipa, pura ini tak terpisahkan dari sejarah Ida Bathara Bang Manik Angkeran yang berjumpa dengan Ki Dukuh Sakti Belatung. Ida Bathara Bang Manik Angkeran mengambil putri dari Ki Dukuh Sakti Belatung bernama Luh Warsiki untuk dijadikan istrinya.
Dari perkawinannya itu, lahirlah putra laki-laki yang rupanya tampan serta memiliki prabawa yang agung yang dinamai Ida Wang Bang Banyak Wide. Ida Wang Bang Banyak Wide inilah, yang juga merupakan leluhur dari Arya Wang Bang Pinatih, yang merupakan warih dari Ki Dukuh Sakti Belatung dan Ida Bang Manik Angkeran.
Baca juga: 5 Pura Favorit di Bali

Saat kami ke sana, sepertinya pura tersebut sedang dalam tahap renovasi. Nampak puing-puing yang masih bisa ditemukan di beberapa sudut pura dan gundukan pasir yang diletakkan di depan pintu masuk pura. Walaupun bagian dalam pura masih sedikit berantakan akibat puing-puing tadi, namun kami masih bisa nyaman melakukan sembahyang di sana. Pura ini juga tidak terlalu luas, namun cukup teduh berkat pohon besar yang terletak di dalam pura.
Pura Besakih
Jam 10:00-an WITA, kami sampai di area Pura Besakih. Siapa sih yang tidak tahu pura terbesar di Bali ini? Pura yang megah ini sebenarnya memiliki beberapa pura lagi di dalamnya. Biasanya sih, saat kami ke sini, kami akan langsung naik ke Pura Penataran Agung, tapi kali ini tidak. Kami mencoba sembahyang di Pura Basukihan Puseh Jagat yang terletak di sebelah kanan dari tangga menuju Pura Penataran Agung.
Selesai sembahyang di sana, lanjut naik ke atas menuju Pura Kawitan (Pura Padharman). Dikutip dari situs Senaya, walaupun Pura padharman berada di dalam komplek Pura Besakih, pura ini bukan merupakan pura kahyangan jagat (pura umum), melainkan sebuah pura bersifat khusus bagi keturunan atau warga-warga tertentu. Ada sekitar 15-an pura padharman di komplek Pura Besakih ini.
Keluarga kami merupakan keturunan Danghyang Bang Manik Angkeran, putra dari Mpu Siddhimantra (yang konon dulunya memisahkan pulau Bali dan pulau Jawa). Di pura ini kami berdoa kepada leluhur, yang dipandu oleh seorang pemangku. Selesai sembahyang, saya diberi gelang tridatu (gelang benang berwarna merah-putih-hitam) oleh pemangku tersebut. Gelang tersebut merupakan simbol dari Dewa Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa).
Baca juga: Upacara Ngeroras (Bagian 1)
Setelah itu kami menuruni anak tangga menuju ke Pura Penataran Agung. Dikutip dari situs Babad Bali, di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung inilah yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dari semua pura yang ada di Besakih.
Kebanyakan orang menyangka Pura Besakih itu hanya Pura Penataran Agung saja, padahal masih banyak lagi pura pura disekitar Pura Penataran Agung yang menjadi penyiwiannya, seperti pura pura pedharman, dan kahyangan kahyangan lain. Kami sembahyang tepat pukul 12:00, dimana matahari sedang terik-teriknya. Di pura ini, saya kembali diberi benang tridatu setelah sembahyang, dan syukurlah kedua benang ini masih awet sampai sekarang.
Pura Ulundanu Batur
Selesai sembahyang di Pura Besakih dan makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Singaraja. Di tengah perjalanan, kami turun sebentar di komplek Danau Batur. Wuaaah, ini pertama kalinya saya melihat salah satu danau terkenal di Bali ini! Danau ini terletak persis di lereng Gunung Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli. Setelah puas menikmati pemandangan (yang cuma sebentar), kami melanjutkan perjalanan.
Sekitar pukul 14:30 WITA, kami sampai di pura terakhir dalam perjalanan tirtayatra hari itu, yaitu Pura Ulundanu Batur. Pura ini terletak di Jl. Kintamani, Batur Selatan, Denpasar. Aslinya, pura ini berdiri di kaldera yang terletak di kaki Gunung Batur. Karena letusan Gunung Batur pada tahun 1926, pura ini sempat hancur dan kemudian didirikan lagi di tempat yang lebih tinggi. Menariknya, di dalam pura ini terdapat sebuah kelenteng untuk umat Tionghoa dan patung Dewi Kwan Im (Dewi Sri dalam Hindu).
Pura ini megah banget! Banyak sekali bangunannya yang menjulang tinggi, termasuk gapuranya. Waktu kami ke sana, sepertinya sedang ada upacara piodalan. Dikutip dari situs Babad Bali, upacara ini merupakan upacara pemujaan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya lewat sarana pemerajan, pura, kahyangan, dengan nglinggayang atau ngerekayang (ngadegang) dalam hari- hari tertentu.

Pura Agung Jagatnatha Buleleng
Setibanya di Singaraja, kami menginap semalam di kostnya si Dewi. Kebetulan, pemilik kostan ini masih saudara sama keluarganya Mama, dan kami dipinjami satu kamar yang masih kosong untuk bermalam di sini. Berbeda dengan hawa di kubu (rumah kakek) yang dingin, di sini tuh panas banget, persis seperti di Bekasi!
Baca juga: Pulang ke Bali: Berangkat!
Keesokan harinya (26 September 2015), kami bersiap untuk pulang ke Bekasi. Sebelum itu, kami sembahyang di Pura Agung Jagatnatha Buleleng, yang terletak di Jl. Pramuka, Banjar Jawa, Kec. Buleleng, Kabupaten Buleleng. Karena sajen yang kami bawa sudah habis dari kemarin, si Dewi jadi harus ke pasar membeli sajen baru berupa canang sari.
Di depan pura ini berdiri sebuah patung Dewa Ganesha, dewa ilmu pengetahuan. Banyak murid-murid SD hingga SMA yang mampir untuk sembahyang muspa (menggunakan bunga) di depan patung Dewa Ganesha ini, sebelum mereka berangkat ke sekolah. Seorang pemangku pun bertugas memercikkan tirta (air suci) ke murid-murid ini. Saya senang sekali melihat pemandangan langka seperti ini.
Setelah Dewi datang membawa canang sari, kami pun masuk ke dalam pura. Waktu itu pura ini sedang dibersihkan, dan wangi rumput yang habis dipotong pun memanjakan hidung saya. Pura ini lumayan luas, bersih dan rapi. Di dalam pura juga ada tiang mirip yang digunakan untuk penyangga tenda, yang sepertinya habis digunakan saat persembahyangan di sana.
Selesai sembahyang, kami sekeluarga berpisah dengan Dewi. Si Dewi ini kuliah di Singaraja, jadi gak ikut pulang ke Bekasi~ Kami berangkat pukul 09:00 WITA, menyusuri jalan berliku dengan pemandangan menakjubkan yang sangat indah. Sempat kena macet di Denpasar (wajar sih), tapi akhirnya sampai di Bandara Ngurah Rai pukul 12:00. Syukurlah penerbangan kami tepat waktu, dan kami tiba di rumah dengan selamat.
Nah, kira-kira begitulah perjalanan saya dan keluarga dalam tirtayatra di Bali pasca Upacara Ngeroras. Jadi gak sabar ingin ke Bali lagi. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasanmu ya~ Terima kasih sudah membaca.
Salam,
Agung Rangga
Comments (13)
winnymarlinasays:
21 September 2016 at 17:51mwww ke tirtayatra di Bali
Agung Ranggasays:
21 September 2016 at 19:21Silakan~~~
Garasays:
21 September 2016 at 20:04Lho saya kira meajar-ajar karena habis ngeroras, ternyata tirtha yatra (ketahuan nggak baca judulnya). Hoo, pretisentana-nya Manik Angkeran… babadnya Manik Angkeran itu seru, dan berarti masih ada hubungan keluarga dengan warih Danghyang Nirartha. Seru, seru. Saya belum pernah ke Pura Manik Gumawang, sepertinya lebih ke pura kawitan juga ya itu Gung, kalau dari ceritanya?
Waduh saya belum sempat lanjutkan tulisan tentang Tirtha Yatra :haha, blognya keburu hilang. Yosh, semangat, ayo kita lanjutkan tulisannya!
Agung Ranggasays:
21 September 2016 at 20:21Saya aja juga baru tahu, dan sejarahnya Manik Angkeran memang seru sih kak, hehe~
Hmm, yang Pura Manik Gumawang kurang tahu juga sih, nanti coba saya tanya Bapak saya.
Nah, pantesan kemarin-kemarin kok blognya Bli Gara susah diakses~
Garasays:
22 September 2016 at 13:18Sip…
Travelling Addictsays:
22 September 2016 at 07:26bali emang kaya dengan tradisi ya? eh btw kalo mau liat pas upacara agama di bali boleh ga sih? #kepo
Budy | Travelling Addict
Blogger abal-abal
http://www.travellingaddict.com
Agung Ranggasays:
22 September 2016 at 07:54sepertinya di beberapa tempat boleh, tapi harus tertib dan tidak mengganggu umat yang sedang melaksanakan upacara keagamaan tersebut.
mysukmanasays:
22 September 2016 at 13:02awh bali, udah lama gak kesana
Agung Ranggasays:
22 September 2016 at 13:25Ayo ke Bali lagi!
Pendar Bintangsays:
22 September 2016 at 13:42Nge-Tirta nya jauh ya Gung….
Btw, Agung Bali-nya emang mana?
Agung Ranggasays:
22 September 2016 at 13:50Hmm, kalau dari kampung saya sih hitungannya gak terlalu jauh kak.
Saya Bali-nya di Kec. Selat, Karangasem.
Deddy Huangsays:
24 November 2016 at 16:58kamu kok gak keliatan kayak orang baliiiiii hihih
eh aku punya gelang yang dua warna itu, tempo lalu ada teman yang kasih sekalian sama gelang rudraksha.
Agung Ranggasays:
27 November 2016 at 08:56ahahaha, banyak yang bilang begitu mas.